Bukan Sebab Kita Hebat, Tapi Karena Allah Mampukan!


Sayyidi Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz Tarim saat mengisi kajian subuh di Masjid Istiqlal Jakarta Agustus 2023. Dokpri/Pecandu Sastra.


 Usai sudah perjalanan satu tahun di 2023. Meski banyak tangis-tawa, suka-duka, bahagia, dan cerita lainnya - kini semuanya mampu dilalui dengan akal sehat. Tiga ratus enam puluh lima hari bukanlah suatu yang pendek, juga bukan suatu yang panjang jika kita jalani dengan hati tulus dan ikhlas. Nyatanya, yang katanya tahun paling buruk, paling sakit, dan paling-paling lainnya, tidak juga demikian. Ada banyak hal yang harus disyukuri dan banyak keajaiban-keajaiban yang Allah datangkan tanpa terduga.


2023 memang termasuk tahun yang cukup menyakitkan yang aku jalani, selain kehilangan pekerjaan dari beberapa bulan sebelumnya, tahun ini pula adalah bagian tersakit, karena harus terpisahkan dari sahabat - circle pertemanan yang baik; terutama keluarga majelis ta'lim, serta para guru di tanah Jawa.


Bagaimana sakitnya, setelah lama penantian dalam doa - Allah pertemukan dengan sosok panutan yang tutur katanya mampu diterima oleh hati tanpa paksaan. Lantas, setelah hal tersebut disadari, tiba-tiba waktu memisahkan.


Rasa sakit itu tidak akan pernah hilang dan sembuh, jika kita tidak mau menerima dengan hati lepas dan ikhlas.


 Alhamdulillah, meski banyak orang berkata bahwa 2023 adalah tahun sakit dan tahun sulit, pun demikian aku juga merasakan. Masih diberi kekuatan, kesabaran, dan kebesaran hati dalam menerima adalah anugerah yang luar biasa. Banyak syukur yang musti harus terus ditandur, karena memang banyak keajaiban di balik rasa sakit dan rasa lainnya yang Allah hadirkan. Nyatanya memang demikian!


Dari lepasnya pekerjaan sampai berepisode-episode, hingga dijauhkan dari orang-orang yang dicintai, bagiku itu adalah ujian keimanan dan kesabaran. Sangat bersyukur dapat menjalani semua dengan riang, meski kadang kala ada air mata tersembunyi, ada tangis dalam tawa, ada duka lara dalam bahagia yang dilukiskan.


Terima kasih sudah menjadi teman berjuang menyusuri lika-liku kehidupan. Tahun dengan elemen air dan shio kelinci yang banyak tantangan kehidupan, juga banyak keajaiban.


Dibalik kegagalan ada banyak keajaiban yang datang, salah satu keajaiban yang tidak pernah terlupakan bagiku ialah pada akhir Agustus lalu, di mana diriku diizinkan oleh-Nya berjumpa dengan sang kekasih; Sayyidi Al-Habib Umar bin Salim bin Hafidz dari Kota Tarim, Hadramaut, Yaman.


Baca: Melihat dari Sudut Pandang Penderita Gangguan Kesehatan Mental dalam Film Kukira Kau Rumah


Sungguh, tidak menyangka dan tidak menduga. Diri yang kotor dan hina ini Allah izinkan menatap wajah beliau secara langsung. Ceritanya, pada bulan Juli saat tahu informasi bahwa Habib Umar akan datang ke Indonesia dalam safari dakwah yang diinisiasi oleh Majelis Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam serta para murid beliau, saat itu aku berazzam dengan memasang niat hadir di acara beliau di Jakarta dan sejak saat itu sering menghadiahkan fatihah kepada Baginda Nabi, kepada beliau Habib Umar, serta para wali dan aulia lainnya. Dalam shalat dan doa-doa pun tidak pernah putus berharap agar Allah izinkan.


 Subhanallah, akhirnya Allah berikan jalan. Aku beserta kakak bertolak ke Jakarta pada 21 Agustus. Sejak awal niat hadir memang sudah diniatkan - ke Jakarta tidak hanya ikut tabligh akbar beliau saja, melainkan ikut beberapa rangkaian acara beliau, termasuk hadir di acara Haul Syech Abu Bakar bin Salim di Cidodol Kebayoran Lama dan ngaji subuh bersama beliau.


Kita sampai di Jakarta sehari sebelum hari (H) pelaksanaan tabligh akbar. Waktu itu kita gunakan untuk hadir di acara Haul Syech Abu Bakar bin Salim, juga ziarah makam Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Athas Keramat Empang Bogor. Kenapa ke Bogor? Karena memang dari rumah niatnya mampir ke Bogor juga, sekalian sowan ke tempat Abah (sayangnya, sowan ini masih belum terlaksana hingga waktu kembali ke rumah. Sebab, waktu di Jakarta hanya 4 hari termasuk perjalanan pergi dan pulang. Mungkin, memang kita belum diizinkan untuk berjumpa kembali). Bagiku, Bogor adalah rumah ketiga yang tidak akan aku lupakan, sebab sudah menjadi bagian dari kehidupan, ada banyak kisah pula yang terukir di sana.


 Pukul empat sore, masjid istiqlal Jakarta penuh oleh ribuan manusia. Jamaah kajian Ustadzah Halimah Alaydrus beserta istrinya Habib Umar yang berlangsung sore itu berhamburan keluar masjid, sedangkan jamaah lainnya berdesak-desakan masuk untuk acara tabligh akbar yang akan dilaksanakan pukul 20.00 wib.


 Beruntungnya, saat tabligh akbar pada malam itu aku bisa memasuki lantai utama masjid istiqlal, meski dapatnya juga di bagian belakang. Sebab, di luar masjid jamaah membeludak, ribuan umat bersandar di beranda masjid - bahkan ada pula yang beralas koran dan tikar yang mereka bawa dan gelar di lapangan di dekat area masjid sebagaimana ditayangkan melalui layar di dalam masjid.


 Siapa yang tidak senang akan kedatangan Sayyidi Habib Umar bin Salim bin Hafidz. Sangat jarang beliau datang ke Indonesia, hanya setahun sekali - itupun baru beberapa tahun ini. Mendengar dawuh beliau melalui media sosial saja sudah bahagia ini hati, apalagi bisa berkesempatan jumpa langsung, melihat wajah dengan senyum tulus dan teduh, serta suara yang penuh gemuruh hikmah.


Baca : Ipar adalah Maut: Badai Rumah Tangga Tanpa Adanya Sebuah Tanda!


Saat mahalul qiyam adalah puncak momen kerinduan. Air mata menjadi perwakilan atas rindu yang tidak dapat diutarakan melalui kata-kata, bahkan rasa saja tidak mampu mewakilinya, saking rindunya. Momen ini aku manfaatkan untuk menatap wajah Sayyidi Al-Habib Umar, sembari mengangkat kedua tangan dan merapalkan beberapa doa harapan kepada-Nya.


Tabligh akbar malam itu usai di puncak dini hari, banyak jamaah yang bermalam di masjid, sebab rumah yang jauh, bahkan banyak pula yang berasal dari luar Jakarta, sebagaimana diriku. Inilah waktu yang aku manfaatkan, istirahat lebih utama dan bangun lebih cepat. Pukul 02.35 wib, usai meluruskan badan di atas karpet di beranda masjid, segera kita bergegas ke kamar mandi; bersih diri lalu wudhu dan qiyamulail. Setibanya di dalam masjid, aku kaget, karena jamaah sudah cukup banyak. Lebih dari sepuluh shaff dari belakang VIP hampir terpenuhi di lantai utama. Beruntung aku masih kebagian di shaff keempat dari VIP, meski tidak tepat di tengah barisan, seenggaknya bisa menatap Habib Umar lebih dekat dan jelas, meski jelasnya karena led lebar yang terpasang di dinding paling depan.


Inilah keajaiban Allah yang tidak pernah kuduga. Bahkan saat usai ngaji subuh bareng Habib Umar - saat hendak berdoa, aku bisa menatap wajah beliau tanpa celah dan tanpa bantuan layar. Benar-benar langsung. Masya Allah sekali, benar-benar Allah pilihkan untuk diriku. Teringat saat Dedy Corbuzier bertanya kepada Habib Umar terkait amalan yang ia lakukan sehingga dapat berjumpa dan mencium tangan Habib Umar secara langsung. Dan, beliau (Sayyidi Habib Umar) menjawab; "Bukan karena suatu amalan kita dipertemukan. Melainkan, karena memang kita dipilih oleh-Nya)." Subhanallah, semoga Allah kembali izinkan untuk berjumpa, duduk dengan tenang di majelis beliau. Menatap wajah teduh beliau, serta mengambil hikmah dari pada apa yang beliau sampaikan di lain waktu, saat-saat beliau kembali hadir ke Indonesia. Aamiin.


 Terima kasih 2023 atas banyak kejutan tak terduga. Selain perjalanan indah ini, Alhamdulillah, diizinkan menginjakkan kaki di tanah Sidoarjo, Jawa Timur pada Januari lalu saat perayaan hari lahir Nahdlatul Ulama (NU) ke 100 tahun (satu abad). Dan, kemarin menutup tahun dengan perjalanan spiritual -- wisata religi ziarah wali songo dan para aulia ke tanah Jawa.


Nb: Tulisan ini pertamakali dipublikasikan di Kompasiana pada Januari lalu.

Comments