Skip to main content

Lima Pusaka Kehidupan dari Novel Janji karya Tere Liye

Novel Janji. Foto oleh rsmajreha_mursaha (ig). Ist



"Kau akan lebih menyesal bukan karena kau melakukan sesuatu dan ternyata itu gagal atau keliru. Kau akan lebih menyesal saat kau tidak pernah melakukan sesuatu, mengingat betapa tidak beraninya kau mengambil keputusan," Tere Liye dalam Novel Janji, halaman 337.


           Janji, merupakan karya fiksi yang penuh misteri. Bagaimana tidak, sejak laman pertama hingga akhir tidak pernah disangka akan seperti apa perjalanan ceritanya. Sudut pandang penulis yang begitu luas mampu membawa pembaca terhanyut dalam kisah yang ditulisnya; seakan ikut hadir bersama dalam kehidupan tersebut.


Novel ini merupakan karya kesekian yang berhasil ditulis dari buah pemikiran dan ide-gagasan luar biasa dari salah satu penulis hebat Indonesia, Tere Liye - yang menceritakan tiga sekawan; Hasan, Baso, dan Kahar, sang pembuat onar di sekolah agama (pondok pesantren).


Kenakalan ketiganya sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dari hal kecil hingga yang paling besar. Puncaknya ialah ketika pada saat calon presiden dan staffnya datang menemui Buya (Kiai Pengasuh/Pimpinan Pesantren) selaku pemilik sekolah agama itu pula. Karena tidak menyukai kehadiran mereka, tiga sekawan ini menaruh garam ke dalam teh calon presiden dan para staffnya, hingga membuat mereka tidak enak badan.


Namun, dari kejadian tersebut mereka justru tidak diberi hukuman sebagaimana pada umumnya. Bahkan dikeluarkan dari sekolah pun tidak, padahal perlakuan mereka sungguh sangatlah keterlaluan. Mereka justru mendapatkan misi untuk menemukan sosok misterius yang sudah puluhan tahun dalam masa pencarian sang Kiai. Jangankan mengenal sosok itu, mendengar namanya saja mereka baru kali pertama. Misi tersebut apabila berhasil terpecahkan oleh ketiganya, maka mereka diperkenankan untuk meninggalkan sekolah tersebut dengan penuh kebebasan.


Namanya, Bahar. Sosok misterius yang harus mereka cari entah di mana rimbanya. Merupakan seorang murid dari Ayahanda Buya (Pengasuh Pesantren saat ini) pada puluhan tahun yang lalu. Ayahanda Buya merupakan pendiri sekolah agama tersebut. Bahar ialah seorang murid yang nakal, anak yatim-piatu yang hidup dan dibesarkan oleh neneknya, kenakalannya membuat ia harus dikirim ke sekolah agama, karena tidak ada lagi yang sanggup mendidiknya. Hari demi hari dilalui Bahar dengan menjahili banyak orang dan bersikap onar. Hingga pada bulan ramadhan, Bahar membangunkan warga pesantren ketika sahur tiba dengan mengenakan meriam bubuk mesiu yang membuat sekolah agama tersebut terbakar dan mengakibatkan seorang anak difabel merenggang nyawa. 


Setelah adanya kejadian tersebut, Bahar dikeluarkan dari sekolah, karena Ayahanda Buya merasa tidak lagi bisa mendidiknya. Meski dengan berat hati dan masih dalam suasana marah yang besar, Abuya melepas bahar dengan nasihat terakhirnya. Nasihat tersebut harus dilaksanakan oleh Bahar dalam keadaan apapun sebagai syarat agar ia boleh bebas meninggalkan sekolah tersebut. Karena keinginannya untuk pergi sudah terwujud, maka Bahar berjanji akan melaksanakan nasihat tersebut di mana pun ia berada dan dalam kondisi apa pun itu.


Nasihat tersebut merupakan pusaka; ada lima pusaka yang harus ditepati oleh Bahar di mana pun ia berada. Dalam perjalanannya, kelima pusaka tersebut tidak pernah lepas dari genggaman Bahar. Di mana pun ia berada, pusaka itu selalu ia pegang teguh sebagaimana janji yang ia ucapkan dengan mantap dan lantang di depan Abuya kala terakhir kalinya di pesantren. 


Perjalanan tiga sekawan dalam pengembaraan memecahkan misi misteri tersebut akan membawa pembaca ke dunia luar biasa. Perjalanan singkat inilah yang akan merubah sudut pandang ketiganya dalam menentukan sikap dan memutuskan antara pergi atau menetap di sekolah tersebut.


Fiksi ini tidak hanya menjadi hiburan dikala hati gundah, galau, gulana. Ketika stres menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian. Melainkan perjalanan mencari makna yang penuh hikmah dan pelajaran tak terlupakan. Sebagai teman mengarungi samudera kehidupan pana, ketika langkah mulai rapuh dan hilang arah.


Adapun, kelima pusaka yang Abuya berikan kepada Bahar, ialah; pertama, selalu hormati dan bantu tetanggamu. Kedua, selalu lindungi yang lemah dan teraniaya. Ketiga, senantiasa jujur dan tidak pernah mencuri. Keempat, bersabarlah atas apapun ujianmu. Kelima, bersedekah, bersedekah, dan bersedekahlah. 


Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...