Skip to main content

Anak Kecil Bernama Kevin dan Sebuah Pelajaran tentang Keikhlasan

 

Ilustrasi. (Sumber: Albata/Istimewa)


       Ada kalanya kita memulai perjalanan dengan langkah ragu. Bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak cerita yang melekat di telinga tentang tempat yang akan kita tuju. Begitulah yang kurasakan saat pertama kali dijadwalkan ke Dusun Karang Sari, sebuah wilayah di pelosok desa di Lampung.

Tugasku adalah melakukan pendataan aset milik negara. Terdengar biasa, tapi jujur saja, aku sedikit cemas. Terlalu sering nama daerah sekitar disebut dalam cerita-cerita kelam, dari arogansi hingga kisah lama yang menyakitkan.


Namun karena ini amanah pekerjaan, aku tetap berangkat. Sambil menata niat, aku membungkus langkahku dengan dzikir, memohon perlindungan dan kelancaran dari Allah. Aku ingin percaya bahwa takdir tak pernah salah menaruhku di tempat yang mesti kuhampiri. Dan ternyata, semua ketakutan itu hanya hantu dalam pikiranku sendiri.


Dusun Karang Sari tidak seperti yang kubayangkan. Warganya ramah. Suasananya tenang. Bahkan ada kehangatan yang tidak kutemukan di banyak tempat lain. Siang itu, terik matahari begitu tajam. Kulitku nyaris terbakar saat aku memutuskan untuk beristirahat di sebuah mushola kecil yang berdiri sederhana di pinggir jalan—Mushola Al-Ikhsan, namanya. Di sana, aku wudhu, numpang kamar kecil, dan bersiap menunaikan sholat dzuhur.


Mushola masih sepi. Karena adzan belum terdengar, aku memutuskan untuk mengumandangkannya sendiri. Bukan kebiasaan, tapi karena sunyi yang terlalu lama. Usai adzan dan sholat sunnah dua rakaat, perlahan mulai datang beberapa jamaah. Hanya segelintir, maklum siang hari dan orang-orang mungkin sibuk bekerja.


Lalu, datang satu peristiwa yang membuatku terdiam. Seorang bapak pengurus mushola memberi kode isyarat untuk iqamah. Ia memanggil, “Dek...” Aku sempat tersenyum geli. Muda sih, tapi masak masih dipanggil “Dek”? Tapi sebelum aku sempat bergerak, dari belakangku melangkah seorang anak kecil. Kecil, tapi penuh wibawa.


Baca juga: Menelusuri Jejak Megalitikum di Bumi Tanggamus


Ia maju ke depan, dan dengan suara pelan namun jelas, mengumandangkan iqamah. Nafasnya tenang. Matanya teduh. Senyumnya sopan. Dan jujur saja, saat itu aku seperti ditampar lembut oleh rasa kagum yang luar biasa. Anak ini—siapa dia? Kenapa hadirnya seperti cahaya kecil di tengah siang yang membakar?


Usai sholat, aku ingin menemuinya. Tapi saat aku masih larut dalam dzikir, dia sudah tak terlihat. Hanya peci hitam yang tadi ia kenakan tertinggal di atas rak mushaf di teras mushola. Peci itu berlogo ormas Islam besar, seolah mewakili dari mana ia tumbuh dan dibentuk.


Hari kedua dan ketiga, aku kembali ke mushola itu. Dan selalu, dia datang. Dengan waktu yang tepat, dengan aura yang sama. Hingga akhirnya kami saling sapa. Namanya Kevin. Siswa kelas 4 SD, rumahnya tak jauh dari mushola. Dan ya, dia memang anak aktif di masjid.


Aku diam-diam iri dengan cara dia dibesarkan. Penuh kedekatan dengan rumah Allah. Ia masih kecil, tapi tampak paham arti tanggung jawab. Tak banyak bicara, tapi tingkahnya adalah pelajaran tersendiri.


Kevin mengajarkanku satu hal penting: bahwa yang membuat manusia besar bukan usia, tapi kesungguhan hatinya.


Baca juga: Apa Iya, Dalam Bercanda Kita Harus 'Merdeka'?


Di usia mudanya, ia telah menjadi penjaga waktu sholat. Di saat anak-anak lain larut dalam gawai, Kevin memilih berdiri di shaf depan. Dan aku, yang datang dengan seragam kerja dan label pegawai negara, justru merasa belajar banyak dari anak kecil itu.


Pertemuan ini bukan kebetulan. Tak ada perjumpaan yang sia-sia jika kita membacanya dengan hati. Mungkin Allah ingin menunjukkan bahwa cahaya itu bisa ditemukan di tempat yang tak terduga. Bahwa kadang, kita harus menempuh jalan jauh hanya untuk disapa oleh seseorang yang mengingatkan kita akan makna ikhlas dan istiqamah.


Semoga Kevin tumbuh menjadi pemuda yang menginspirasi. Semoga aku tak melupakan pelajaran ini: bahwa rumah Allah selalu punya cara untuk mempertemukan jiwa-jiwa yang rindu akan cahaya. Dan semoga pertemuan ini, bukan pertemuan terakhir.


Baca juga: Menanam Cabai Untuk Ramadan, Efektifkah Saat Ini?

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...