Skip to main content

Menelusuri Jejak Megalitikum di Bumi Tanggamus

Situs Prasasti Batu Bedil yang ada di Tanggamus. Foto oleh Cendekia/Dokpri©2025. 


       Beberapa waktu lalu, aku berkesempatan kembali menginjakkan kaki di Kabupaten Tanggamus, Lampung. Ini bukan kali pertama aku berada di wilayah ini, tapi kali pertama aku menjalankan tugas kerja lapangan di sini. Aku tengah mendata aset milik salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) - rutinitas yang kadang membawa kejutan kecil di tengah kesibukan.


Tugas kali ini membawaku ke sebuah desa yang ternyata menyimpan jejak sejarah penting. Saat tengah mendata aset di sebuah titik, aku baru "nggeh" bahwa lokasi tersebut berada tak jauh dari Situs Batu Bedil Tanggamus, salah satu wisata sejarah yang cukup dikenal di daerah ini. Rasa penasaran mendorongku untuk singgah setelah pekerjaan selesai. Gratis tanpa pungutan apa pun, hanya perlu menjaga sikap dan kebersihan. Menarik, bukan?


Secara administratif, situs ini terletak di dua desa: Gunung Meraksa dan Batu Bedil Hilir, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus. Lokasinya berada di dataran tinggi sekitar 370 mdpl, di tepi jalan yang menghubungkan Desa Talang Padang dan Desa Air Bakoman. Tempatnya luas, bersih, dan terawat. Setiap hari ada petugas kebersihan, dan penjaganya pun ramah. Saat aku bertanya-tanya, beliau menjawab dengan santai dan bersahabat, meski aku hanya mengobrol sambil lalu.


Aku datang menjelang sore, di tengah terik yang cukup menyengat. Tapi saat masuk ke area situs, suasananya berubah syahdu. Deretan pohon tinggi menghadirkan sejuk yang menyegarkan. Tempat ini terasa damai.


Baca juga: Bukan Sekadar Percintaan, Film Komang Menyajikan Banyak Pesan Moral


Di sini terdapat tinggalan budaya megalitik berupa menhir besar yang disebut Batu Bedil. Menurut cerita masyarakat, batu ini dinamakan demikian karena dulu sering terdengar bunyi letusan dari arah batu tersebut. Batu menhir ini cukup besar, lebarnya sekitar 109 cm dan tingginya mencapai 220 cm. Tak hanya itu, di sekitar batu ini juga terdapat berbagai artefak lain seperti batu tegak, lumpang batu, altar batu, hingga batu bergores. Penyebaran artefak-artefak ini membentang dari Barat Daya ke Timur Laut, dengan orientasi mengarah ke Tenggara - seolah menyimpan petunjuk yang belum sepenuhnya terungkap.


Pemandangan sekitar Situs Prasasti Batu Bedil Tanggamus yang berhasil aku abadikan. (Foto Dokpri) 


Sekitar 100 meter di sebelah barat dari kompleks megalitik ini, terdapat pula prasasti Batu Bedil. Sayangnya, aku tidak bisa masuk ke area ini karena pagarnya tertutup dan tak ada penjaga saat itu. Aku hanya bisa mengintip dari balik pagar sambil membayangkan isi di dalamnya. Dari cerita sang penjaga situs, prasasti ini terbuat dari batu setinggi sekitar 157 cm dan lebar 72 cm, bertuliskan sepuluh baris aksara Jawa Kuna dalam bahasa Sansekerta. Di awal tertulis "Namo Bhagawate", dan di akhir tertulis "Swaha". Kemungkinan besar ini adalah mantra, menunjukkan unsur spiritual dan religius yang kuat pada masa itu. Dilihat dari bentuk hurufnya, prasasti ini diperkirakan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10 Masehi.


Yang menarik, keberadaan prasasti ini di tengah kompleks megalitik menunjukkan kesinambungan budaya yang luar biasa. Warisan megalitik yang bercampur dengan pengaruh aksara dan bahasa menunjukkan perjalanan panjang peradaban yang pernah hidup di sini.


Baca juga: 7 Syarat Sujud yang Benar Dalam Shalat
 

Pesan Perjalanan


Perjalanan singkat ini menyadarkan ku bahwa setiap tempat punya cerita. Kadang, kita terlalu fokus pada tugas dan rutinitas, hingga lupa menoleh sejenak ke sekitar. Padahal, bisa jadi kita sedang berdiri di atas tanah yang menyimpan sejarah panjang nenek moyang kita.


Situs Batu Bedil adalah salah satu pengingat bahwa budaya dan sejarah bukan hanya milik buku atau museum. Ia hidup di tengah masyarakat, bisa kita datangi, rasakan, dan pelajari langsung. Harapanku, tempat seperti ini terus dijaga kelestariannya. Tidak hanya sebagai destinasi wisata sejarah, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran dan refleksi akan siapa kita dan dari mana kita berasal.


Jika suatu saat kamu berada di Tanggamus, luangkan waktu untuk mampir ke Batu Bedil. Tak hanya sekadar tempat berfoto, tapi juga tempat untuk merenungi perjalanan budaya yang sudah ada jauh sebelum kita ada.


Baca juga: Apa Iya, Dalam Bercanda Kita Harus 'Merdeka'? 

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...