![]() |
Suasana majelis yang sempat sunyi taat kala Abah telat datang. Beliau meminta untuk memulai kegiatan terlebih dahulu. (Dokpri©2023) | Abah berbaju putih. |
Malam merambat pelan ke ujung hari, menyisakan langit jingga yang perlahan berubah menjadi biru tua. Di sudut kamar kecil yang temaram, duduklah diriku di dekat jendela, memeluk lutut sendiri sambil memandangi langit. Ada satu nama yang sejak pagi tadi menari-nari di kepala — Abah.
Sudah hampir dua tahun berlalu sejak terakhir kali kita bertatap muka. Dua tahun yang terasa begitu panjang bagi seseorang yang terbiasa tumbuh dalam kehangatan bimbingan. Aku memanggilnya "Abah" - bukan karena darah yang mengikat, tetapi karena kedekatan jiwa yang membuat diri nyaman, seolah didengar, dan dipahami.
Sejak kita tidak lagi tinggal di kota yang sama, komunikasi pun perlahan memudar. Bukan karena ingin melupakan, tapi karena rasa segan dan hormat yang tak pernah surut. Aku tahu Abah sibuk, terlalu sibuk untuk diganggu dengan pesan-pesan ringan dari seseorang yang dulu hanya beliau anggap sohib, meski hatiku selalu ingin menyapa. Bukan karena tak ingin, tapi karena waktu dan keadaan telah menempatkan kita di dua garis yang berbeda. Sejak kita tak lagi berada di kota yang sama, jarak menjadi pagar antara kedekatan yang dulu terasa begitu hangat.
Tapi hari itu, tanggal itu, aku tak bisa lagi menahan gejolak dalam dada. Apalagi saat kudapati sebuah catatan di buku jurnal harian dan pengingat pada hari itu uang muncul di layar ponselku; tertulis jelas: “Hari ini ulang tahun Abah.”
Hatiku berkecamuk. Aku rindu. Teramat rindu. Bukan hanya pada suaranya, tapi pada segala ketenangan yang dulu selalu hadir saat bersamanya. Maka, aku pun memberanikan diri mengirimkan pesan singkat: “Selamat milad Abah. Mabruk Alfa Mabruk. Berkah, barokah, dan semakin bermanfaat usianya. Sehat, bahagia, panjang usia, murah rezeki, dicintai dan diridhai Allah. Aamiin Ya Rabbal Alamiin. - Tak terasa sudah dua tahun nggak berjumpa, semoga tahun ini Allah izinkan untuk bersua. Aamiin Ya Rabbal Alamiin. Izinkan aku mengucap rindu dalam doa."
![]() |
Dari sekian banyaknya perjalanan yang dilalui bersama. Ini adalah satu-satunya foto aku dengan Abah. Foto ini diambil saat pamit pulang kampung. |
Baca juga: Anak Kecil Bernama Kevin dan Pelajaran Tentang Keikhlasan
Aku tak benar-benar berharap balasan. Bahkan membuka ruang obrolan saja sudah membuat dadaku sesak oleh harapan yang diri sendiri takutkan. Malam itu, aku mencoba melupakan. Membiarkan pesan itu mengalir ke ruang yang jauh, tak bertepi.
Namun, tepat saat malam hampir memeluk hari - sekitar pukul setengah sembilan - sebuah pesan singkat tiba. Abah mengirimkan sebuah video kegiatan majelis di salah satu rumah jama'ah majelis yang beliau pimpin, lalu dengan hati riang aku segera merespon dengan kata indah. Tak berselang lama, dering ponselku memecah keheningan. Aku sempat tak percaya. Nama yang muncul di layar membuat napasku tercekat, "Abah".
Dengan tangan gemetar, aku angkat telepon itu. “Assalamu’alaikum,” suara di seberang terdengar tenang, dalam, dan amat familiar. Seperti suara masa lalu yang kembali mengetuk hati.
“Wa’alaikumussalam, Abah…” bisikku nyaris tak terdengar, namun penuh getar.
Baca juga: Menelusuri Jejak Megalitikum di Bumi Tanggamus
Itu adalah kali pertama kita berbicara lewat sambungan telepon. Tak ada topik besar. Hanya percakapan ringan, saling bertanya kabar, dan jeda-jeda panjang yang diisi oleh detak jantung yang tak menentu. Tapi setiap helaan napas dari seberang sana seolah menjawab seluruh rindu yang tak pernah terucap.
"Titip salam untuk keluarga. Ana rindu sama ente," ucap Abah sebelum panggilan berakhir. Seketika hati bergetar, sebuah kata yang belum pernah aku dengar secara langsung dari Abah; rindu. Ada kehangatan di sana, dan juga rasa yang ia tak mampu uraikan - antara kasih, rindu, dan kebersahajaan.
Dan malam itu, dalam sepi yang penuh makna, aku menyadari satu hal: terkadang, cinta tak perlu dimiliki. Ia cukup tumbuh dalam diam, tersimpan dalam doa, dan hadir lewat suara yang akhirnya kembali terdengar - suara yang sejak lama dirindukan. Aku berharap Allah tidak hanya mengobati rindu ini melalui suara pada sambungan telepon saja, melainkan dipertemukan secara langsung dalam kehangatan keluarga di majelis tercinta kembali.
Baca juga: 7 Syarat Sujud yang Benar Dalam Shalat
Note: Tulisan ini telah dimuat di Kompasiana dengan judul yang sama
Comments
Post a Comment