![]() |
Ilustrasi oleh AI |
Salam pembaca setia, kembali lagi dengan cerita "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Kali ini kita publikasikan Bab 3. Selamat membaca dan selamat hari raya idul adha - maaf lahir dan batin semuanya.
Untuk yang ketinggalan bab sebelumnya, boleh banget ya dibaca >>>di sini<<<.
-------
Bab 3:
Aktivis dengan Seribu Cinta
Arfi bukan hanya dikenal sebagai suami yang setia dan ayah yang penyayang, tapi juga seorang aktivis yang dihormati banyak orang. Di mata masyarakat, ia adalah sosok yang selalu hadir di garis depan untuk memperjuangkan kepentingan sosial, pendidikan anak-anak marginal, hingga isu-isu lingkungan yang kerap terabaikan. Di balik sikap tenangnya, tersimpan api semangat yang menyala-nyala.
Sejak muda, Arfi memang tak pernah nyaman duduk diam. Ia tumbuh dengan rasa gelisah melihat ketimpangan di sekitarnya. Dari jalanan kota yang penuh sampah, anak-anak putus sekolah, hingga komunitas miskin yang luput dari perhatian pemerintah - semuanya menyentuh hatinya. Ia percaya bahwa hidup bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang memberi makna.
Di usia 35 tahun, ketika ia dilantik sebagai Ketua Pemuda di wilayahnya, banyak yang menyangsikan kemampuannya. Ia dianggap terlalu ‘idealis’ dan terlalu sibuk dengan kegiatan sosial. Namun, perlahan keraguan itu sirna. Arfi membawa perubahan. Ia merancang program pemberdayaan pemuda, menginisiasi kelas belajar gratis untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu, hingga membangun komunitas peduli lingkungan yang aktif membersihkan sungai dan menanam pohon.
Di satu sisi, kesibukannya makin padat. Tapi Arfi tidak pernah mengorbankan waktu untuk keluarga. Ia tahu betul batasannya, dan Santi - seperti bidadari tanpa sayap - selalu ada untuk menjaga ritme hidup mereka agar tetap seimbang.
Suatu hari, Arfi mengadakan kegiatan sosial besar-besaran. Sebuah program bakti pemuda yang melibatkan banyak relawan dari berbagai daerah. Tujuan mereka adalah sebuah desa kecil di pinggiran kota, tempat akses pendidikan dan kesehatan masih minim. Di sanalah, Arfi pertama kali bertemu dengan seorang gadis remaja yang kelak mengisi babak baru dalam hidupnya.
Namanya Disa.
Disa adalah lulusan SMA yang baru saja menyelesaikan ujian akhir. Ia datang sebagai relawan muda yang ingin belajar dan ikut terlibat. Usianya 18 tahun, penuh semangat dan rasa ingin tahu. Tubuhnya mungil, wajahnya berseri, dan matanya memancarkan kecerdasan yang menawan. Ia duduk di salah satu sudut tenda, memperhatikan Arfi berbicara di depan forum. Dari cara Disa menatapnya, jelas ia kagum.
Selepas acara pembukaan, Disa memberanikan diri mendekat. “Pak Arfi, boleh saya bicara sebentar?”
Arfi menoleh, tersenyum. “Tentu. Namamu siapa?”
“Disa, Pak. Saya baru lulus sekolah. Saya terinspirasi dari apa yang Bapak sampaikan tadi. Bolehkah saya ikut lebih jauh dalam kegiatan seperti ini?”
Arfi melihat matanya. Ada ketulusan di sana, sesuatu yang sudah lama ia cari dari anak-anak muda: kemauan untuk memberi, bukan hanya menerima. Ia tersenyum lebih lebar.
“Kalau kamu serius, aku senang sekali. Kita butuh banyak anak muda seperti kamu.”
Mulai saat itulah, kedekatan mereka terjalin. Disa bukan hanya aktif di kegiatan sosial bersama Arfi, tapi juga sering datang ke rumah, membantu Santi mengurus anak-anak, dan ikut berdiskusi di ruang tamu yang hangat. Anak-anak Arfi menyukai Disa, dan Santi pun merasa nyaman dengan kehadirannya. Ia rajin membantu, santun, dan penuh inisiatif.
Lambat laun, Arfi merasa menemukan ‘anak’ lain dalam diri Disa. Ia melihat sosok calon pemimpin muda, sekaligus anak perempuan yang haus kasih sayang dan bimbingan. Maka, pada suatu sore yang sederhana, ia berkata kepada Disa, “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin menganggapmu sebagai anak sendiri. Mau?”
Disa terdiam, matanya mulai basah. “Saya… saya mau, Pak. Tapi saya nggak mau menggantikan siapa pun.”
“Tak perlu menggantikan siapa pun. Kamu akan menjadi Disa - anak yang kami sayangi, dengan tempatmu sendiri di hati kami.”
Sejak saat itu, Disa resmi menjadi anak angkat Arfi dan Santi. Ia tinggal bersama mereka, mulai kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, dan perlahan mengikuti jejak Arfi dalam aktivitas sosial. Hidup mereka bertambah warna. Di tengah kesibukan, tawa baru hadir di rumah. Disa memanggil Arfi dengan “Papa,” seperti anak-anak kandung Arfi. Dan Arfi pun memeluk Disa dengan kasih sayang yang sama besar.
Namun di balik semua kehangatan itu, hidup sedang menyiapkan pelajaran tentang kehilangan, tentang cinta yang harus diuji waktu, dan tentang janji yang kelak hanya bisa disampaikan lewat doa.
Comments
Post a Comment