Skip to main content

[4] Dalam Pelukan yang Kupilih

Ilustrasi Dalam Pelukan yang Kupilih 'Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi'. (Sumber: AI)


"Hallo, selamat datang di bab 4 perjalanan (Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi). Terima kasih telah menjelajah sejauh ini. Buat yang ketinggalan bisa di cek pada halaman awal ya!  Klik disini!!! 

Untuk yang ketinggalan bab sebelumnya (Bab 3) >>> klik di sini <<< untuk menuju ke sana!"

 

Bab 4

Dalam Pelukan yang Kupilih

 

Tak ada yang tahu pasti bagaimana cinta bisa tumbuh tanpa ikatan darah. Namun di rumah Arfi dan Santi, cinta itu nyata. Disa, gadis muda yang datang dengan harapan dan semangat, perlahan menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga itu.


Hari-harinya berubah sejak ia memanggil Arfi dengan sebutan “Papa.” Mungkin terdengar sederhana, tapi ada kedalaman emosional yang tak bisa dijelaskan setiap kali kata itu meluncur dari bibir Disa. Baginya, Arfi bukan hanya sosok panutan, tapi juga pelindung, pembimbing, dan rumah.


Disa cepat akrab dengan anak-anak Arfi - Laura, Hafidz, dan Rayyan. Ia mengantar mereka bermain, menyuapi makan, dan sering bercerita sebelum tidur. Di antara kesibukan kuliah dan aktivitas sosial, Disa tetap menyempatkan diri membantu Santi mengurus rumah. Ia ikut menyapu, mencuci piring, bahkan menemani Santi memasak sambil curhat ringan tentang kuliahnya.


Santi sendiri memandang Disa dengan kasih seorang ibu. Meski ia bukan darah dagingnya, ia tak pernah membeda-bedakan. Bahkan, diam-diam ia bersyukur karena kehadiran Disa menjadi penopang tambahan dalam rumah tangga mereka. Sosok Disa yang lembut namun sigap, ramah namun cerdas, membuat Santi merasa ada yang bisa ia andalkan saat Arfi kelelahan atau sedang berjuang dengan kesehatannya.


Arfi, di sisi lain, makin kagum. Ia tak menyangka, perhatian-perhatian kecil yang diberikan Disa mampu menyentuh hatinya begitu dalam. Disa selalu ingat untuk membawakan air putih hangat untuknya setiap pagi, mengingatkan jadwal kontrol kesehatan, atau sekadar menyelipkan catatan kecil di meja kerja bertuliskan, "Jangan lupa makan, Papa."


Mereka sering bepergian bersama untuk urusan sosial. Kadang ke desa pelosok untuk mengajar anak-anak, kadang ke kota untuk menggalang dana, atau ikut diskusi aktivis lintas daerah. Disa mencatat, merekam, dan sesekali menjadi moderator. Ia belajar banyak hal langsung dari Arfi - tentang kepemimpinan, kepekaan sosial, dan pentingnya berbicara dengan hati.


Dalam setiap perjalanan, keduanya berbagi cerita. Tentang masa lalu, tentang mimpi, dan sesekali tentang kesedihan. Disa tak pernah menyangka hidupnya akan berubah sedemikian rupa. Ia yang semula hanya ingin menjadi relawan, kini menemukan arti keluarga sejati.


Namun tidak semua orang bisa mengerti kedekatan mereka. Beberapa tetangga mulai bergosip. Mereka bertanya-tanya mengapa seorang gadis muda tinggal serumah dengan pria yang bukan ayah kandungnya. Meski Arfi dan Santi menjelaskan, tetap saja bisik-bisik itu tak bisa dibungkam.


“Biarkan saja, Pa,” kata Santi suatu malam. “Kita tahu niat kita baik. Orang akan bicara apa pun yang kita lakukan.”


Arfi mengangguk. Tapi di hatinya tetap ada kekhawatiran. Ia tahu betul dunia luar bisa begitu kejam kepada hubungan yang tak biasa. Namun saat ia melihat Disa yang tetap ceria, tetap setia, semua kekhawatiran itu perlahan menguap. Ia tahu, Disa bukan hanya pintar, tapi juga tangguh.


Disa sendiri sesekali menyadari bahwa kedekatannya dengan Arfi bisa jadi bahan cibiran. Tapi ia memilih diam. Baginya, yang penting adalah rasa hormat dan kasih yang ia rasakan. Arfi memperlakukannya bukan sebagai ‘pengganti’ siapa pun, melainkan sebagai Disa yang utuh. Ia tidak pernah dilecehkan, tidak pernah direndahkan. Justru, ia dihargai dan dilibatkan dalam banyak keputusan penting.


Hubungan mereka dibangun dari kepercayaan. Arfi mempercayai Disa sebagai penerus perjuangannya. Disa mempercayai Arfi sebagai pelita dalam hidupnya. Satu sama lain, saling mengisi.


Dalam satu momen yang tak ia lupakan, Arfi pernah berkata padanya, “Kamu tahu, Dis? Aku kadang berpikir, mungkin Tuhan mengirimmu untuk mengisi ruang kosong dalam hidupku yang bahkan aku sendiri tak tahu ada.”


Disa terdiam, lalu menjawab pelan, “Dan mungkin, Papa dikirim Tuhan untuk menggantikan ayah yang selama ini aku rindukan, tapi tak pernah aku temukan.”


Mereka berdua saling pandang, tak banyak kata, tapi penuh makna. Di ruang tamu yang sederhana itu, dua jiwa saling menemukan, bukan karena darah, melainkan karena cinta yang lebih dalam: cinta yang hadir karena saling percaya, saling menghargai, dan saling menerima.


Namun waktu terus berjalan. Ujian pun perlahan datang. Kedekatan itu, seerat apa pun, tetap akan diuji oleh jarak, oleh waktu, dan oleh perubahan yang tak bisa mereka hindari.


Dan semua itu dimulai dari satu keputusan besar: Disa harus melanjutkan kuliahnya ke luar kota.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih.