Skip to main content

Ebit G. Ade dan Rasa yang Tak Pernah Lagi Sama


Seorang pria mengenakan sarung, duduk santai menikmati kopi sambil mendengarkan lagu Ebiet G. Ade - mengenang masa kecil bersama ayah. (Sumber:AI)

"Lagu tidak hanya tentang melodi dan lirik. Mereka adalah pintu waktu, yang bisa mengantar kita pulang ke kenangan yang bahkan sudah lama kita kubur."


Kalian pernah nggak, ketika dengerin lagu yang dulu sering didengar, tapi sekarang pas dengerinnya lagi - beda rasanya. Seolah ada sesuatu yang tersimpan di sana dan nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti lagunya Ebit G. Ade.


Dulu, lagu-lagu Ebit G. Ade cuma jadi hiburan taat kala lagi suntuk atau teman saat menjalani rutinitas harian yang padat. Enak didengar, liriknya dalam, tapi ya sebatas itu. Rasanya ringan, seperti saat lagi duduk santai sore hari sambil ngeteh atau ngopi dan menikmati langit sore atau sambil meresapi nyanyian alam. Tapi sekarang kok beda banget ya rasa dan nuansa saat kembali mendengarkan lagu itu. Kalau dulu lagu-lagunya bikin nyaman, sekarang justru bikin dada sesak tapi hangat - semacam pelukan yang dirindukan tapi nggak bisa lagi untuk digapai.


Perubahan rasa itu muncul nggak secara tiba-tiba. Ada momen-momen yang membuat lagu itu punya makna baru. Bagiku, semua berawal dari sosok yang aku panggil Papa - bukan ayah kandungku, tapi orang yang pernah dan akan selalu punya tempat istimewa dalam hidupku. Kami punya kamestri yang nggak bisa dituturkan dengan kata-kata. Bukan berarti hubungan aku dengan orang tua kandung renggang atau nggak harmonis ya, tapi Papa ini - dia masuk ke dalam hidupku dengan cara yang sangat halus, lalu tinggal selamanya di ruang kenangan.


Dari Papa lah aku kenal Ebit G. Ade. Lagu-lagu seperti Berita Kepada Kawan, Titip Rindu Buat Ayah, dan Untuk Kita Renungkan, jadi semacam soundtrack dalam perjalanan hidup kami. Awalnya, lagu-lagu itu hanya menjadi latar dari rutinitas harian - saat beliau sedang istirahat sambil memejamkan mata atau kala sedang duduk di depan komputer sembari menuangkan ide-ide brilian yang lalu-lalang di dalam kepala. Tapi makin ke sini, setiap lagu itu diputar, ada yang terasa berubah. Semacam lagu itu membuka kembali pintu yang pernah tertutup, memperdengarkan gema masa lalu yang belum sempat kita selesaikan.


Baca juga: Ketika Tukang Sol Sepatu Jadi Haji yang Mabrur Tanpa Berhaji 


Lagu "Titip Rindu Buat Ayah" sekarang terasa seperti surat terbuka buat Papa dan juga Bati. Bukan cuma tentang kehilangan, tapi tentang rindu yang belum sempat selesai. Sementara "Berita Kepada Kawan", seperti catatan hidup - tentang perjuangan, rasa ingin bangkit, dan bagaimana kita sering menyimpan air mata di balik senyum. 


Ebit G. Ade memang seperti penyihir. Lirik-liriknya layaknya mantra yang pelan-pelan masuk ke hati. Nggak keras, tapi nusuk. Lagu-lagunya tuh bukan cuma soal nada, tapi memiliki nilai dan bermakna: ketulusan, kasih tanpa syarat, kehilangan, dan rasa ingin pulang. Mungkin itu sebabnya lagu-lagu beliau terasa "mistis" - bukan dalam arti seram, tapi menyihir kita untuk masuk ke dalam ruang perasaan yang jarang kita buka.


Kadang, saat lagu itu muncul secara tiba-tiba di sosial media, aku cuma bisa terdiam. Bukan sekadar nostalgia, tapi semacam penyesalan kecil. Ada keinginan untuk kembali ke masa itu, bukan untuk mengulang, tapi untuk memperbaiki sesuatu. Tapi waktu, seperti yang kita tahu, hanya berjalan ke depan.


Baca juga: Hikmah Pagi Dalam Kesunyian Idul Adha 


Dan mungkin, dari semua kenangan, lagu-lagu inilah yang tersisa. Semacam pengingat bahwa mereka pernah ada, pernah mengisi hari-hariku dengan cinta yang tenang dan penuh kehangatan. Dan sekarang, lewat lagu-lagu itu, aku bisa merasakannya lagi - meski hanya sebentar.


Setiap kali lagu Ebiet G. Ade mengalun, aku seperti kembali duduk di samping Papa - menyeruput kopi, mendengar nasihat, dan diam-diam menyimpan rindu.

"Kehilangan tidak selalu bisa dihindari, tapi kenangan... mereka selalu punya cara untuk pulang."


Baca juga: "Dua Sarung: Cinta Dalam Diam"


*) Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana dengan judul sama.

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...