![]() |
Hujan di Mataku part of Pelukan yang Tak Selesai. Ilustrasi oleh AI. |
Oleh: Cendekia Alazzam
"Ini merupakan Bab 2 dari Cerbung 'Pelukan yang Tak Selesai' - bagi yang ketinggalan bab sebelumnya, boleh banget baca di sini!!!"
Hujan turun deras sejak siang, mengguyur atap rumah mereka dengan irama monoton yang menyerupai lagu duka. Tinara duduk di dekat jendela, memandangi tetes air yang berlari di kaca, seperti air mata yang gagal ia tumpahkan. Ia sudah terbiasa dengan sepi, tapi hari ini, sepi itu menggigit lebih dalam. Ada kehampaan yang tak lagi bisa ia tutupi, bahkan dengan senyum ramah pada anak-anaknya.
Pagi tadi, ia mencoba sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan: menyambut Suwantra di depan kamar mandi dengan senyuman dan secangkir kopi panas. Ia mengenakan daster lembut warna biru yang pernah Suwantra bilang sebagai favoritnya. Rambutnya ia kepang longgar, aroma tubuhnya wangi bunga melati.
"Pak, kopi dulu sebelum berangkat kerja," ucapnya pelan, mencoba bersikap manja seperti dulu.
Suwantra menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil, hambar. Ia mengambil kopi itu dan mengangguk. "Makasih."
Tak ada pelukan. Tak ada genggaman tangan. Hanya itu. Dan setelahnya, ia kembali ke ruang tamu, sibuk membuka tas kerja dan mengecek pesan di ponselnya. Tinara berdiri di dapur cukup lama, menunggu sesuatu yang tak kunjung datang—mungkin perhatian, atau sekadar ucapan terima kasih yang hangat. Tapi yang datang justru suara notifikasi ponsel Suwantra yang berbunyi terus-menerus, memecah ketenangan pagi seperti pisau kecil yang menusuk.
Saat itu, ia tahu. Suwantra tak lagi menaruh minat pada dirinya, atau setidaknya, minat itu bukan lagi miliknya seorang. Entah sejak kapan semua ini dimulai. Mungkin sejak tahun lalu, atau lebih lama lagi. Ia pernah mencium aroma parfum asing di baju dinas suaminya. Pernah melihat panggilan masuk dari nama yang asing, dengan foto profil seorang perempuan muda berkerudung merah dan senyum manis. Ia pernah bertanya, tapi dijawab dengan ketus, "Itu cuma teman kerja. Jangan lebay."
Sejak itu, Tinara memilih diam. Tapi diam bukan berarti tidak tahu. Ia menyusun ulang rasa sakitnya dalam senyap, memendam dan menyimpan, sampai tubuhnya sendiri mulai memberontak dalam bentuk letih yang tak bisa diistirahatkan.
Suwantra semakin jarang pulang tepat waktu. Ia bilang banyak proyek lapangan, rapat mendadak, lembur yang tak bisa ditinggal. Tapi saat pulang, ia masih membawa tawa. Sayangnya, bukan untuk Tinara. Tawa itu hanya muncul saat ia bicara di telepon, atau saat bercanda dengan anak-anak. Kepada Tinara, ia hanya menyisakan lelah dan wangi parfum yang tak pernah dikenalnya.
Di suatu sore yang dingin, saat anak-anak sedang tidur siang, Tinara duduk di ruang tamu dan memberanikan diri bertanya, "Pak, kamu masih sayang sama aku?"
Suwantra yang baru saja masuk rumah, diam sesaat. Ia menaruh tas di sofa, lalu menjawab datar, "Apa sih, Tin? Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Aku capek."
Itu bukan jawaban. Tapi Tinara mengangguk, pura-pura mengerti. Padahal hatinya remuk seperti genting tua yang dipukul hujan bertahun-tahun.
Malam itu, saat anak-anak sudah tidur, dan Suwantra menghilang di ruang kerjanya dengan laptop dan earphone, Tinara menyalakan lampu kamar pelan-pelan. Ia menatap cermin cukup lama. Wajahnya tampak pucat, matanya sayu. Di sana, ia melihat seorang perempuan yang terlalu kuat memendam luka, terlalu sering berharap dan terlalu sering kecewa.
"Aku kesepian, Pak," bisiknya pada pantulan dirinya sendiri. Tapi tentu tak ada yang menjawab.
Hujan masih turun saat itu. Di luar, dunia terasa dingin dan jauh. Di dalam rumah, hatinya lebih dingin lagi. Ia kembali menatap pintu kamar yang tak pernah diketuk Suwantra lagi. Ia tidak butuh banyak, hanya pelukan kecil, kecupan singkat, atau sekadar pertanyaan, "Kamu capek nggak hari ini, Tin?"
Tapi yang ia punya hanya malam. Malam yang panjang dan hampa. Malam yang membuatnya semakin percaya bahwa dirinya tak lagi penting di mata suaminya.
Ia menangis dalam diam, hanya ditemani suara hujan yang mengguyur atap. Dan dalam keheningan itulah, mata Tinara mulai mencari arah lain untuk merasa hidup kembali.
Mungkin bukan pada Suwantra. Tapi pada siapa pun yang bisa melihatnya sebagai perempuan, bukan sekadar ibu dari anak-anaknya.
Dan malam itu, hujan tak hanya turun di atap rumah mereka. Tapi juga di matanya.
[Bersambung...]
Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]
Comments
Post a Comment