![]() |
Sekubal, makanan khas Lampung yang terbuat dari Ketan. (Dokpri) |
Lebaran idul adha memang tak seistimewa idul fitri lalu. Jangankan rendang, opor dan ketupat yang biasanya menyambut selepas sholat Ied harus kini absen. Hidangan di meja pun tergolong sederhana, sekadar sup bening dan olahan ayam yang cukup disantap bersama lontong. Meski begitu, tak ada keluhan berarti. Justru hati ini belajar kembali tentang arti rasa syukur yang sesungguhnya.
Sebab di luar sana, masih banyak orang yang mengharapkan untuk bisa duduk di meja makan dengan hidangan, walau dalam kesederhanaan. Bahkan di hari raya sekalipun, masih banyak saudara kita yang harus berpuasa karena keadaan. Maka, kehadiran makanan - apa pun bentuk dan rasanya, adalah anugerah yang layak disyukuri.
Namun, ada satu yang terasa betul hilangnya - sekubal, makanan khas Lampung yang biasanya menjadi primadona di hari raya. Bukan soal rasa saja, tapi soal kenangan. Hari raya kali ini, sekubal buatan mama tak hadir di meja. Beberapa hari lalu, keluarga kami mendapat anggota baru, seorang keponakan kecil yang lahir tepat menjelang Idul adha. Mama pun harus tinggal beberapa waktu di rumah saudari saya untuk membantu persalinan dan perawatan si kecil.
Sekubal bukan sekadar makanan. Ia adalah cerita dan tradisi. Terbuat dari ketan yang dikukus dengan santan, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus lagi dalam waktu yang lama, sekubal menjadi simbol kesabaran dan kehangatan keluarga. Di Lampung, makanan ini tak hanya hadir saat lebaran, tetapi juga dalam berbagai hajatan adat seperti begawi, pernikahan, dan khitanan.
Baca juga: Pertemuan yang Tak Biasa
Sekilas, bentuk sekubal mungkin mengingatkan kita pada lepat atau lemang. Namun, ada cita rasa khas yang membuatnya berbeda. Aromanya harum, teksturnya padat tapi lembut, dan gurih santannya menyatu sempurna dengan rasa ketan. Bagi saya, sekubal bukan hanya enak di lidah, tapi juga hangat di hati.
Memang, karena proses pembuatannya yang cukup rumit dan memakan waktu, sekubal jarang ditemukan di hari biasa, apalagi di perdesaan atau kota kecil. Maka kehadirannya di hari raya selalu istimewa, membawa ingatan pada dapur yang ramai, tawa keluarga, dan tangan mama yang telaten membungkus satu per satu adonan ketan dengan daun pisang.
Meski kali ini tak ada sekubal di meja, lebaran tetap riang. Suara tawa, cerita yang bersahut-sahutan, dan harumnya lontong yang mengepul tetap menghadirkan suasana bahagia. Karena pada akhirnya, hari raya bukan sekadar soal hidangan, tapi tentang kebersamaan, rasa syukur, dan kenangan yang terus hidup dalam aroma masakan rumah.
Baca juga: Ebit G Ade dan Rasa yang Tak Lagi Sama
Comments
Post a Comment