Skip to main content

Lentera dari Laut Mimpi

Lentera (ilustrasi) - Foto: Burak The Weekender/Pexels


Tahun itu - dua ribu dua puluh dua,

mimpi kembali menjemputku,

membawaku menyusuri batas antara sadar dan rindu.


Di tengah lautan tanpa pantai,

aku berendam,

bersama sosok yang dulu begitu dekat,

penuntun dalam gelapku,

penyuluh di kala aku kehilangan arah.


Ia tak bicara,

namun sorot matanya menyalakan tanya:

“Mengapa kau ingin pergi sebelum waktunya?”

Wajahnya tenang, namun ada desakan yang lembut -

seolah memintaku tetap tinggal

di tempat yang pernah menjadi ladang cahaya.


Baca juga: Menyibak Tabir Cinta, Dendam, dan Budaya Jawa Dalam Film Gowok


Kaos hitam membalut tubuhnya,

bergambar “ruang” berwarna hijau -

tempat kami pernah bertumbuh,

belajar, dan berbagi dengan penuh cinta.


Ruang itu dulu rumah.

Bukan bangunan,

tapi perjumpaan antara hati-hati yang ingin belajar,

antara semangat dan keikhlasan yang disulam bersama.


Namun dalam mimpi,

ia perlahan tenggelam,

tak membawa suara,

hanya tubuh dan lentera hijau itu yang ikut larut,

menghilang dari pandanganku

dengan isyarat yang belum sempat kuartikan.


Baca juga: Dari Semangkuk Mie Ayam, Hidup Dimulai Kembali 


Aku terbangun, tak tahu maknanya.

Lalu waktu berjalan,

dan jarak pun mulai memisahkan.

Ruang itu tetap berdiri,

tapi aku tak lagi di sana.

Tak lagi aktif menyemai,

tak lagi hadir dengan segenap nyala.


Barulah kini aku pahami,

bahwa mimpi itu bukan sekadar bunga malam.

Itu pesan,

itu isyarat dari Tuhan melalui wajah yang pernah menuntunku.

Bahwa suatu hari, aku akan pergi dari sana -

namun bukan berarti cahaya itu padam.


Aku mengerti sekarang:

ia tidak ingin aku lelah,

tidak ingin aku berhenti,

meski ruang tak lagi memayungi,

meski langkah harus menjauh dari tanah yang dulu subur.


Baca juga: Lebaran Tanpa Sekubal, Tetap Penuh Syukur 


Dan karena itu,

selagi Tuhan masih memberiku waras dan waktu,

aku berjanji:

aku akan terus berbagi,

akan terus menulis dan mencipta,

akan terus menjadi suara dari ilmu yang ia wariskan.


Agar kelak,

setiap huruf yang terbit dari jemariku,

setiap hikmah yang mengalir dari lidahku,

menjadi jembatan menuju surganya - meski ia tak lagi hadir di sampingku,

meski ruang hijau itu kini hanya tinggal kenang.


Sebab cinta sejati bukan sekadar pertemuan,

ia adalah keberlanjutan dari cahaya yang pernah dinyalakan.

Dan aku,

adalah saksi dari lentera itu.


Lampung, 5 Juni 2025


* Cendekia Alazzam (Pecandu Sastra)

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...