Skip to main content

Menyibak Tabir Cinta, Dendam, dan Budaya Jawa dalam Film Gowok

Poster Film Gowok: Kamasutra Jawa. (Foto: Dokpri)


Bayangkan sebuah naskah antropologi yang tiba-tiba hidup di layar lebar: begitulah rasanya menyaksikan Gowok: Kamasutra Jawa garapan Hanung Bramantyo. Alih-alih menonjolkan erotika dangkal, film ini mengajak penonton menziarahi cara masyarakat Jawa kuno memaknai seksualitas sebagai ilmu rasa, etika, dan kekuasaan.


Tokoh sentral ziarah itu adalah institusi bernama gowok. Dalam khazanah Jawa, gowok dipandang sebagai guru rumah tangga—mentor yang mempersiapkan bangsawan muda menjadi suami beradab, sanggup membaca bahasa tubuh pasangannya sekaligus menata batin sendiri. Konon tradisi ini berakar pada kunjungan Laksamana Cheng Ho, ketika seorang perempuan bernama Gowok memperkenalkan seni asmaragama kepada keraton.


Namun gelar guru datang bersama kutukan. Seorang gowok tak boleh menikah; hidupnya diabdikan untuk mendidik orang lain mengolah rasa yang justru tak boleh ia miliki. Konflik pun tercipta: apa jadinya ketika larangan rubuh oleh desakan cinta?


Hanung menguliti pertanyaan itu lewat Ratri. Didikan Nyai Santi menjadikannya maestro asmara sekaligus pemikir progresif, tetapi hatinya patah oleh pengkhianatan Kamanjaya. Dua puluh tahun berselang, anak sang pengkhianat - Bagas - datang berguru. Ratri menyambutnya dengan pelajaran setajam keris: balas dendam berbalut kelembutan. Di ruang sempit itulah tubuh, kuasa, dan etika saling bergumul.


Baca juga: Dari Semangkuk Mie Ayam, Hidup Dimulai Kembali 


Banyak adegan menampilkan sentuhan dan desahan, tetapi kerangka visualnya jauh dari sensasi murahan. Kamera ditempatkan seolah sedang membaca serat kuno: gerakan lambat, komposisi simetris, dan gamelan yang memuncak saat makna - bukan kulit - menjadi pusat perhatian. Seks tak pernah liar, sebab dibingkai tata nilai yang ketat.


Di balik layar, riset mendalam terpancar dari kostum, bahasa, hingga tarian. Dialog Jawa krama inggil bukan sekadar hiasan, melainkan mesin waktu yang menarik penonton memasuki abad lampau. Set kian hidup berkat palet cokelat-tembaga yang mengaburkan batas dongeng dan dokumenter.


Dimensi paling progresif muncul ketika Ratri mendirikan sekolah perempuan pada dekade 1950-an. Melangkah di tengah turbulensi politik, ia menolak paradigma kanca wingking. “Perempuan bukan lampiran sejarah, melainkan penulisnya,” tegasnya. Adegan seorang murid mengeja aksara dengan mata berbinar sudah cukup menjadi manifestonya.


Baca juga: Lebaran Tanpa Sekubal, Tetap Penuh Syukur 


Gowok mungkin mustahil dihidupkan ulang hari ini, tetapi pesannya - menghormati tubuh, mengedukasi rasa, dan menempatkan seksualitas dalam tanggung jawab - justru makin mendesak di era klik-bait. Film ini mengingatkan bahwa kematangan bukan akrobat di ranjang, melainkan kemampuan mendengar denyut batin diri dan pasangan.


Secara keseluruhan, saya menilai karya ini 9,5 dari 10. Musik Jawa yang meretas setiap adegan membuat sejarah seolah bernapas, sementara twist berlapis menahan kita hingga kredit terakhir. Rasanya seperti belajar, terluka, dan jatuh cinta sekaligus - pengalaman sinema yang langka.


Baca juga: Pertemuan yang Tak Biasa 

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...