Skip to main content

Dari Semangkuk Mie Ayam, Hidup Dimulai Kembali

Foto Novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati karya Brian Khrisna. (Sumber: arumshelf/ig)

 

 "Saat pertama kali membaca judul buku di atas, hal apa yang terlintas di benak kalian? Semangkuk Mie Ayam dan kisah cinta, atau semacam kisah petualangan dalam dunia kuliner? Ya, itulah yang ada di pikiranku saat pertama kali membaca judul buku ini. Unik, menarik, dan membuat penasaran. Kalau kalian bagaimana?"


Apa yang tersisa dalam hidup ketika kita merasa tak berarti? Tidak ada pencapaian. Tidak ada teman. Tidak ada yang benar-benar peduli. Bahkan orang tua pun hanya menunggu transfer, bukan kabar. Di titik itulah, Ale - tokoh utama dalam novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati karya Brian Khrisna - memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.


Tapi, sebelum benar-benar pergi, ia hanya punya satu permintaan sederhana: makan mie ayam langganannya. Satu hal kecil yang ingin ia nikmati sebagai perpisahan. Namun takdir berkata lain. Warung mie ayam itu tutup. Terdengar remeh? Justru di situlah awal mula kehidupan Ale berubah.


Ternyata, mie ayam yang tak sempat dimakan itu menjadi titik balik. Gara-gara gagal mati dengan "tenang", Ale justru dipaksa hidup. Dipaksa melihat dunia dari kacamata yang selama ini tak pernah ia sentuh: dunia para terbuang, dunia yang sering dipandang hina - penjahat, pemulung, kupu-kupu malam, tukang layangan, bahkan office boy dan tuna netra.


Baca juga: Lebaran Tanpa Sekubal, Tetap Penuh Syukur


Dalam dua minggu yang penuh kejutan, Ale belajar satu hal yang begitu menampar: yang membuat kita bertahan bukan harapan, tapi penerimaan. Karena harapan bisa pupus, tapi penerimaan adalah tempat hati bersandar.


Brian Khrisna menulis cerita ini bukan hanya untuk menghibur, tapi menyadarkan. Tentang bagaimana banyak dari kita hidup dengan luka yang tak pernah sembuh, lalu kita pikir: hidup ini tak layak. Padahal, mungkin kita hanya belum bertemu dengan orang yang mau melihat kita apa adanya. Yang mau memanusiakan kita tanpa syarat. Sama seperti Ale yang akhirnya merasa paling "dimanusiakan" di tempat paling tidak manusiawi: penjara.


Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati bukan hanya cerita tentang kematian yang tertunda, tapi tentang hidup yang akhirnya dimulai. Tentang manusia yang hanya ingin dianggap ada, dimengerti, dan dihargai. Tentang kita semua.


Baca juga: Pertemuan yang Tak Biasa 


Tak perlu merasa relate untuk bisa belajar dari cerita ini. Karena nilai-nilainya universal. Tentang luka masa kecil. Tentang beban yang tak terlihat. Tentang sudut pandang yang sempit, yang hanya bisa dilebarkan jika kita mau melangkah lebih jauh - dan membuka mata lebih lebar.


Buku ini bukan hanya sekadar bacaan. Ia seperti teman yang duduk di samping kita saat hari paling gelap. Menepuk pelan bahu kita sambil berkata, "Kamu nggak sendirian. Hidup ini masih bisa diubah. Bahkan oleh hal kecil seperti seporsi mie ayam."


Jadi kalau kamu merasa lelah, ingin menyerah, atau sekadar butuh teman yang mengerti, bacalah ini.


Baca juga: Ebit G Ade dan Rasa yang Tak Lagi Sama 


Karena mungkin, kamu tidak butuh motivasi muluk-muluk. Mungkin kamu hanya butuh merasa... diterima.


Identitas Buku 

Judul: Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati 

Penulis: Brian Khrisna 

Penerbit: Baca

Genre: 

Jumlah Halaman: 

Tahun Terbit: 

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih.