Skip to main content

Rumah yang Diam - Cerbung [PTS]

Rumah yang Diam, part of Pelukan yang Tak Selesai. Ilustrasi oleh AI.


Oleh : Cendekia Alazzam ©2025


"Ini adalah bab pertama dari cerita bersambung atau cerbung yang berjudul Pelukan yang Tak Selesai. Untuk episode lengkap, sinopsis, dan lainnya, silakan baca di sini!!!"


Pagi datang seperti biasa di rumah kecil bercat krem di pinggiran kota itu. Matahari belum sepenuhnya naik ketika Tinara membuka jendela kamar, membiarkan udara dingin menampar pelan kulit wajahnya. Dapur sudah ramai oleh aroma teh manis dan nasi goreng, suara denting sendok dan piring menyatu dengan lantunan doa dari televisi kecil di sudut ruang makan. Seolah tak ada yang berubah.


Suara anak-anak memecah kesunyian. Miko, si sulung, berlari kecil sambil menenteng tas sekolahnya, berseru memanggil adik-adiknya yang masih rebutan bando di ruang tengah. Suwantra, seperti biasa, duduk di sofa ruang tamu sambil menggulir layar ponsel. Wajahnya tenang, datar. Sesekali ia meneguk kopi hitamnya yang sudah setengah dingin. Tinara menyiapkan bekal anak-anak dengan cepat, tangannya terlatih, matanya cekatan, bibirnya diam.


"Pak, bekalnya udah siap di meja," ucap Tinara tanpa menoleh.


"Iya," jawab Suwantra pendek, lalu kembali fokus pada layar ponselnya.


Hening. Tak ada obrolan pagi tentang cuaca, mimpi semalam, atau bahkan kabar kerjaan hari ini. Percakapan antara suami dan istri itu kini hanya sepenggal-sepenggal, seperti radio tua yang kehilangan frekuensi. Anak-anak menjadi pengisi celah kosong di antara mereka. Mereka tertawa, bercanda, kadang bertengkar, tapi kehadiran mereka justru menutupi kehampaan yang tak terbantahkan.


Tinara sering merasa seperti bayangan di rumahnya sendiri. Ia hadir, tapi tak benar-benar dilihat. Sentuhan suaminya makin jarang, dan jika pun ada, terasa seperti rutinitas yang tak lagi bermakna. Ia rindu digenggam, rindu disentuh bukan hanya oleh tangan, tapi juga oleh perasaan.


Suwantra sendiri bukan pria yang jahat. Ia penyayang anak, bertanggung jawab soal nafkah, tak pernah main tangan, tak pernah meninggikan suara. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang sudah lama pergi, mungkin gairah, mungkin cinta, atau barangkali hanya sekadar perhatian.


Setelah anak-anak berangkat, rumah itu kembali sunyi. Suwantra pamit seadanya, hanya dengan suara, tanpa peluk atau cium. Tinara hanya membalas dengan anggukan.


Ia duduk di meja makan, mengaduk teh yang sudah mendingin. Sesekali memandang dinding kosong di hadapannya. Di dinding itu ada lukisan kecil pemberian almarhum ibunya, bergambar rumah sederhana dan dua orang tua yang saling menggenggam tangan di bangku taman. Lukisan itu dulu membuatnya tersenyum. Sekarang, hanya mengingatkan betapa ia tak punya itu lagi.


Di kamar, seprai masih rapi. Mereka tidur di ranjang yang sama, tapi sudah lama tidak dalam pelukan yang sama. Ia tahu, tubuhnya tak muda lagi. Kulitnya tak sekencang dulu, perutnya tak lagi rata, dan waktu sudah menorehkan banyak garis di wajahnya. Tapi ia tak meminta banyak. Hanya ingin dipeluk, ditatap, diinginkan.


Tinara menarik napas panjang. Ia lalu menyalakan radio kecil di dapur. Lagu lawas mengalun lembut, mengisi kekosongan. Sambil mencuci piring, pikirannya melayang ke masa lalu, masa awal pernikahan mereka. Saat Suwantra masih suka menyelipkan surat kecil di saku bajunya, atau mencium keningnya setiap pagi sebelum pergi kerja. Saat mereka masih sering bercanda soal hal-hal bodoh, menonton film hingga tertidur di sofa. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang terlalu jauh untuk dijangkau.


Tengah hari, rumah tetap sunyi. Hanya suara detik jam dan angin dari jendela yang terbuka. Tinara menyelesaikan setrikaan, lalu duduk di beranda sambil menyeruput teh.


Ia menyentuh cincin kawinnya, memutar-mutar perlahan. Ada perasaan bersalah yang tak ia mengerti. Seolah semua ini salahnya. Atau mungkin bukan siapa-siapa yang salah, hanya waktu yang tak ramah.


Sore hari, anak-anak pulang. Rumah kembali riuh. Suwantra pun pulang tak lama kemudian, membawa sebungkus martabak manis. Ia memberikannya pada anak-anak, lalu kembali duduk di sofa. Tinara tersenyum kecil, tapi tak berkata apa-apa.


Malam datang. Mereka makan malam bersama, seperti keluarga pada umumnya. Tapi mata mereka jarang bertemu. Setelah itu, masing-masing masuk ke dunia sendiri. Anak-anak tidur di kamar mereka, Suwantra di depan TV, Tinara di kamar membaca buku yang tak ia selesaikan.


Sebelum tidur, ia menoleh ke arah suaminya yang masih di ruang tengah. Ingin rasanya berkata, “Pak, aku kesepian.” Tapi ia urungkan. Lalu mematikan lampu, dan membiarkan malam menelannya dalam diam.


Rumah itu tetap berdiri. Tetap utuh, tapi retak di dalamnya tak kasat mata.


Dan esok, segalanya akan terulang lagi, dengan sunyi yang sama.


[Bersambung...]


Baca juga: Cinta Pengabdian dan Jejak yang Abadi (Cerbung)

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih.