![]() |
Ilustrasi. (Foto oleh AI). |
"Alhamdulillah, sudah sampai di bab 10. Terima kasih ya, sudah setia menanti hingga bab ini terlahir. Mohon maaf banget updatenya terlambat, karena dua bab terakhir yang sudah ditulis, hilang. Jadi, harus menulis ulang.
Bagi yang ketinggalan dengan cerita ini, boleh dibaca dari awal dalam cerita "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Dan, bagi yang belum baca bab sebelumnya, silakan >>> baca di sini! <<<"
Bab 10
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Tahun-tahun berlalu seperti sungai yang tenang. Beberapa alirannya membawa duka, beberapa membawa harapan. Tapi di antara itu semua, ada satu hal yang tidak pernah surut dari hati Disa: cahaya yang ditinggalkan Arfi.
Langkah Arfi kini bukan lagi sekadar komunitas kecil. Ia telah tumbuh menjadi gerakan sosial yang merambat ke berbagai kota dan desa. Mereka membuka rumah baca, pelatihan keterampilan untuk ibu rumah tangga, klinik kesehatan keliling, dan sekolah alam untuk anak-anak di pelosok. Tak sedikit relawan yang bergabung karena pernah terinspirasi oleh buku “Langkah Papa” atau mendengar kisah Disa di seminar kampus.
Menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri, itulah yang terus menghidupkan Disa. Tapi di balik semua itu, ia tetap rendah hati. Ia menolak disebut penerus Arfi, apalagi digadang-gadang jadi tokoh perubahan.
“Aku bukan siapa-siapa,” ujarnya suatu kali kepada seorang wartawan yang ingin mewawancarainya. “Aku hanya seseorang yang pernah dicintai dengan tulus... dan ingin membalas cinta itu dengan kebaikan yang bisa aku bagi.”
Disa kini telah menyelesaikan studi magisternya di bidang pendidikan dan pembangunan masyarakat. Tapi lebih dari gelar, ia tumbuh menjadi sosok yang membawa makna. Ia hadir di tengah masyarakat bukan dengan poster atau pidato panjang, tapi dengan telinga yang mau mendengar, dan tangan yang siap membantu.
Pada suatu sore yang mendung, Disa kembali ke rumah lama. Santi sudah menunggu di beranda, menyambutnya dengan pelukan hangat dan teh jahe favorit mereka. Rambutnya mulai memutih, tapi senyumnya tetap sama: tenang dan menguatkan.
“Buku barumu sudah sampai kemarin,” kata Santi sambil menyerahkan sebuah buku bersampul cokelat tua. Judulnya sederhana: "Surat untuk yang Tak Pernah Pergi."
Disa tersenyum lirih. “Itu buku terakhir, Bu. Setelah ini, aku ingin lebih banyak diam. Lebih banyak mendengar.”
Santi menatapnya lama. “Kadang, diam itu juga cara mencintai. Kau sudah berkata cukup banyak lewat tindakanmu, Sa.”
Dari dalam rumah, suara anak-anak terdengar. Laura sudah remaja dan pandai menggambar. Hafidz kini lebih tinggi dari Santi. Dan Rayyan — yang dulu masih belajar bicara — kini menjadi penghafal surat pendek dan gemar bercerita. Ketiganya memeluk Disa dengan hangat, seperti keluarga yang tak pernah terpisah oleh waktu.
“Kak Disa mau ke makam Papa hari ini?” tanya Rayyan sambil menggenggam tangan Disa.
“Iya, Sayang. Kakak kangen.”
Mereka pergi bersama. Tak ada tangis. Hanya bunga-bunga kecil yang ditaburkan perlahan. Di nisan Arfi, terukir kalimat yang Disa sendiri minta ditulis:
"Hidup adalah tentang menyalakan cahaya di hati orang lain. Dan ia, tak pernah berhenti menyala."
Sore itu, Disa duduk agak lama di sisi makam. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah dan rumput basah. Ia membuka catatan kecilnya, lalu menulis:
“Papa, aku tahu kau tidak pernah benar-benar pergi. Karena setiap kali aku tersenyum pada anak-anak, menguatkan ibu-ibu, atau menanam satu pohon kecil... aku merasa kau ada di sana, menepuk pundakku pelan.”
Langit mulai jingga. Cahaya sore menyentuh wajah Disa dengan lembut. Di kejauhan, terdengar suara tawa anak-anak dari kegiatan komunitas. Mereka berlarian sambil membawa poster berisi gambar pohon, matahari, dan tulisan: “Satu Langkah untuk Dunia.”
Santi duduk di samping Disa. Mereka tak banyak bicara, hanya memandangi langit yang berubah warna.
“Aku kadang masih bermimpi tentang Papa, Bu,” kata Disa pelan.
“Apa yang kau lihat?”
“Ia tidak bicara. Hanya berdiri dari jauh. Tapi senyumnya seperti bilang... aku baik-baik saja.”
Santi menatap ke langit. “Mungkin itu caranya menenangkan kita. Memberi tahu bahwa cintanya tak pernah hilang. Hanya berubah bentuk.”
Disa mengangguk. Ia tahu, selama ini yang membuatnya kuat bukan karena ia hebat. Tapi karena ada cinta yang terus menyalakan nyalinya dari dalam. Cinta dari seorang ayah, yang tak pernah menuntut untuk dikenang, tapi selalu ada dalam setiap langkah.
Saat mereka kembali ke rumah, beberapa relawan komunitas datang membawa kabar: proposal beasiswa untuk anak-anak di desa binaan telah disetujui. Jumlahnya cukup besar. Disa tersenyum. Arfi pasti akan sangat bahagia jika melihat semua ini.
Malamnya, Disa menulis sepucuk surat pendek yang ia sisipkan dalam buku hariannya:
"Aku mencintaimu dengan cara yang mungkin dunia tak bisa ukur. Tapi aku tahu satu hal pasti — selama aku hidup, aku akan terus menjadi rumah bagi cahaya yang pernah kau nyalakan."
Cahaya itu terus menyala.
Dari satu langkah kecil, menjadi jalan panjang yang tak pernah padam.
Bersambung...
Comments
Post a Comment