![]() |
Ilustrasi oleh AI |
"Terima kasih telah setia hingga pada bab ini terlahir. Bagi yang ketinggalan dengan cerita ini, boleh dibaca dari awal dalam cerita "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Dan, bagi yang belum baca bab sebelumnya, silakan >>> baca di sini! <<<"
Beberapa bulan telah berlalu sejak Arfi berpulang, namun bayangannya tetap hidup dalam setiap langkah Disa. Tak ada hari tanpa mengingatnya, tanpa menyebut namanya dalam doa, atau sekadar menatap langit dan bertanya dalam hati, "Apa Papa melihatku dari sana?"
Di tengah duka yang perlahan mulai menjadi kekuatan, Disa mantap melangkah menjalankan amanah yang pernah ia janjikan. Komunitas kecil yang ia bangun di kampus, Langkah Arfi, kini telah menjadi ruang bertumbuh bagi para mahasiswa yang ingin berkarya di bidang sosial, pendidikan, dan lingkungan.
Disa menulis visi komunitas itu dengan tangan sendiri: "Langkah kecil untuk meneruskan cahaya. Karena cinta dan kebaikan tak akan pernah padam, meski pemiliknya telah pergi."
Setiap akhir pekan, ia bersama tim turun ke desa-desa sekitar, mengajar anak-anak, menanam pohon, membagikan buku, dan memberi penyuluhan. Ia teringat bagaimana dulu Papa Arfi membimbingnya dari seorang remaja biasa menjadi pribadi yang peduli pada sesama. Dan kini, ia ingin menjadi seperti Arfi untuk orang lain - sumber cahaya yang sederhana namun abadi.
Santi, istri Arfi, sering menghubunginya. Kadang hanya untuk berbagi cerita tentang anak-anak, atau sekadar menanyakan kabar. Hubungan mereka tetap hangat. Bahkan anak-anak Arfi - Laura, Hafidz, dan Rayyan - selalu menyambut Disa dengan teriakan ceria saat ia pulang ke rumah lama.
“Papa sering cerita tentang Kak Disa dulu,” kata Hafidz suatu kali sambil memegang tangan Disa. “Kata Papa, Kak Disa itu anak hebat.”
Disa menahan air mata. Ia tersenyum dan mengangguk. “Papa kalian orang hebat. Kakak cuma belajar dari beliau.”
Di salah satu kegiatan komunitas, Disa menjadi pembicara dalam seminar kampus. Di hadapan ratusan peserta, ia membagikan kisahnya - tentang pertemuan takdir, tentang cinta yang tidak harus melalui darah, dan tentang seorang pria yang mengubah hidupnya selamanya.
“...Beliau bukan hanya ayah angkat saya. Beliau adalah cahaya dalam gelap saya. Tempat saya pulang. Dan saat ia pergi, saya sadar... bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang meneruskan.”
Seminar itu menjadi titik balik bagi banyak orang. Beberapa mahasiswa yang hadir menangis. Beberapa lainnya memutuskan bergabung dengan Langkah Arfi, menyumbang waktu dan tenaga mereka untuk sesuatu yang lebih besar daripada sekadar nilai akademis.
Disa juga menulis sebuah buku kecil berjudul “Langkah Papa: Catatan dari Hati yang Merindukan”. Buku itu berisi kisah-kisahnya bersama Arfi, pelajaran hidup, dan surat-surat yang tak pernah terkirim. Ia mencetaknya secara mandiri dan membagikannya secara gratis di kampus, di desa, dan kepada siapa saja yang ingin mengenal sosok Arfi lebih dekat.
Satu kutipan dari buku itu menjadi begitu terkenal:
"Jika kamu mencintai seseorang, biarkan cintamu hidup dalam kebaikan. Karena tubuh akan kembali ke tanah, tapi cinta akan tinggal dalam cahaya yang kamu wariskan."
Buku itu bahkan sampai ke tangan jurnalis senior yang dulu satu redaksi dengan Arfi. Mereka menulis artikel khusus untuk mengenang Arfi, membuat namanya kembali bersinar, meski telah tiada. Dalam tulisan itu, ada kalimat yang membuat Disa menangis:
"Arfi mungkin telah berpulang, tapi jejaknya tertanam dalam banyak hati. Dan salah satu hati terbaik itu bernama Disa."
Setiap langkah yang Disa ambil kini adalah bentuk janji setianya kepada Arfi. Ia tahu tidak akan pernah bisa membayar semua cinta yang telah ia terima. Tapi ia bisa mengembalikannya pada dunia, sebagaimana Arfi pernah memberikannya tanpa pamrih.
Dan dalam setiap langkahnya, Disa selalu percaya: Papa pasti bangga.
Bersambung...
Comments
Post a Comment