![]() |
Suatu ketika, aku ikut menemani kakakku menjenguk teman sejawatnya — sesama guru — yang baru saja kembali dari Tanah Suci setelah menunaikan ibadah haji. Kami memanggilnya Mami Yus, dan suaminya Bapak Arif. Sejak mendengar kabar bahwa kami akan berkunjung, rasanya aku sudah tak sabar.
Ada rasa senang yang sulit dijelaskan, karena diam-diam aku punya mimpi besar: suatu hari nanti, aku juga ingin berada di sana. Di tanah para nabi. Di tempat yang sejak kecil aku sebut-sebut dalam doa.
Di rumah sederhana itu, kami disambut hangat. Suasananya ramai namun penuh keteduhan. Dengan hidangan makanan khas Timur Tengah: kurma legit, kismis manis, kacang arab, dan beberapa buah tangan dari Tanah Suci - menjadi teman lesehan pagi itu. Kakakku mendapat air zam-zam asli dari towernya di Mekkah dalam botol kecil 100 ml, juga kurma pilihan yang dibeli langsung di sana, serta tasbih digital sebagai oleh-oleh eksklusif dari Mami Yus dan Bapak Arif.
Aku pun kebagian sesuatu yang istimewa: sebuah tasbih. Aku tak tahu terbuat dari apa, tapi butiran tasbih itu memiliki perpaduan warna hitam, putih, cokelat tua, dan cokelat susu. Di bagian pangkalnya ada ornamen seni dengan sentuhan islami, dan di ujungnya tergantung bentuk menyerupai bulan sabit seperti yang biasa kita lihat di atas kubah masjid.
Tasbih itu diberikan langsung padaku oleh Mami Yus. Bukan karena aku istimewa, mungkin hanya karena aku hadir. Tapi entah kenapa, rasanya seperti hadiah dari Allah.
Baca juga: "Puisi: Detik yang Menyimpan Wajahmu"
Namun, oleh-oleh terpenting hari itu bukanlah benda, melainkan cerita. Khususnya ketika Mami Yus menceritakan pengalaman mereka saat puncak ibadah haji.
Puncak ibadah haji adalah momen terpadat, paling melelahkan, dan paling sarat makna dalam seluruh rangkaian haji. Di sanalah para jamaah harus melaksanakan wukuf di Arafah, bermalam atau mabit di Muzdalifah, lalu melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melontar jumrah, hingga akhirnya melakukan tawaf dan sai di Masjidil Haram.
Dari semua itu, ada satu bagian yang membuat aku terdiam cukup lama: perjalanan kaki sejauh 28 kilometer dalam satu hari. Itu bukan angka yang kecil. Bayangkan, 28 kilometer dengan suhu yang mencapai 51 derajat Celsius. Bukan karena tidak ada kendaraan, tapi karena manusia tumpah ruah hingga mobil-mobil tidak bisa bergerak. Jika menunggu mobil bisa-bisa memakan waktu hingga 8–9 jam lamanya. Maka, satu-satunya jalan adalah berjalan kaki.
Mami Yus dan Bapak Arif melakukannya dengan sabar. “Secara logika, ya nggak mungkin kuat,” begitu kata mereka. Tapi justru di situlah letak ujian dan keajaiban dari ibadah haji. Sebanyak apa pun uang yang kamu punya, kalau Allah belum izinkan, kamu tidak akan bisa lewat. Ini bukan tentang siapa yang paling kuat atau paling kaya, tapi siapa yang paling tulus dan sabar.
Baca juga: Berawal Dari Pujian, Jadi Hobi yang Menguntungkan
Dari cerita itu aku merasa, ibadah haji memang bukan sekadar ritual. Ia adalah latihan total: hati, fisik, dan niat diuji secara bersamaan.
Bapak Arif bahkan sempat kehilangan jejak Mami Yus saat sedang tawaf. Ia bercerita bahwa sebelumnya ia sempat membatin ketika melihat pasangan lain yang berjalan agak berjauhan. Dalam hati ia bertanya, “Nggak takut pisah ya?” Dan ternyata, ia sendiri yang justru terpisah dari istrinya.
Dari sini aku belajar satu hal; jangan pernah merasa lebih tahu dari orang lain, bahkan hanya dalam hati sekalipun. Karena bisa jadi, Allah langsung memberikan pengingat dengan cara yang tidak kita duga.
Ada pula peristiwa saat Mami Yus pulang sendirian dari masjid setelah salat Isya. Ia menolak ditunggu rombongan karena merasa hafal jalan. Namun ternyata ia tersesat. Tidak satu atau dua kilometer, tapi sampai tujuh kilometer menyusuri jalan yang salah. Lagi-lagi, Allah seakan memberi pelajaran, bahwa bahkan untuk hal yang kita pikir kita kuasai, kesombongan sekecil apapun bisa membawa kita ke arah yang keliru.
Cerita-cerita itu membuat aku tertunduk. Bukan karena takut, tapi karena rasa hormat. Betapa Allah punya cara yang sangat halus, namun tegas, untuk mengingatkan hamba-Nya. Aku sampai beberapa kali menundukkan kepala, menahan air mata, malu kalau terlihat menangis.
Banyak orang mengira bahwa haji itu hanya soal rukun dan syarat. Tapi dari kisah Mami Yus dan Bapak Arif, aku belajar bahwa haji adalah proses pembentukan hati. Ini bukan tentang seberapa kuat tubuhmu berjalan, tapi seberapa ikhlas kau bertahan. Bukan soal banyaknya doa yang dibaca, tapi seberapa tulus hatimu saat membacanya. Bukan soal siapa yang bisa ke sana lebih dulu, tapi siapa yang kembali dengan hati yang baru.
Dari rumah itu, aku pulang tidak hanya membawa tasbih. Tapi juga membawa pelajaran hidup. Tentang rendah hati, tentang sabar, dan tentang kejujuran niat. Dan tentu saja, membawa doa dalam hati agar suatu saat aku pun bisa menjejak di tempat yang sama. Dengan langkah ringan dan hati yang siap belajar.
Mungkin aku belum tahu kapan Allah akan panggil aku ke sana. Tapi hari itu, aku merasa telah diberi secuil rasa dari Tanah Suci. Bukan lewat pasir dan udara panasnya, tapi lewat cerita, tasbih, dan secangkir kesadaran bahwa perjalanan ke Baitullah itu sejatinya sudah dimulai. Dari sini. Dari hati.
Comments
Post a Comment