Skip to main content

Di Balik Kurma, Zam-Zam, dan 28 Kilometer Cinta dari Tanah Suci

 


       Suatu ketika, aku ikut menemani kakakku menjenguk teman sejawatnya — sesama guru — yang baru saja kembali dari Tanah Suci setelah menunaikan ibadah haji. Kami memanggilnya Mami Yus, dan suaminya Bapak Arif. Sejak mendengar kabar bahwa kami akan berkunjung, rasanya aku sudah tak sabar.


Ada rasa senang yang sulit dijelaskan, karena diam-diam aku punya mimpi besar: suatu hari nanti, aku juga ingin berada di sana. Di tanah para nabi. Di tempat yang sejak kecil aku sebut-sebut dalam doa.

Di rumah sederhana itu, kami disambut hangat. Suasananya ramai namun penuh keteduhan. Dengan hidangan makanan khas Timur Tengah: kurma legit, kismis manis, kacang arab, dan beberapa buah tangan dari Tanah Suci - menjadi teman lesehan pagi itu. Kakakku mendapat air zam-zam asli dari towernya di Mekkah dalam botol kecil 100 ml, juga kurma pilihan yang dibeli langsung di sana, serta tasbih digital sebagai oleh-oleh eksklusif dari Mami Yus dan Bapak Arif.


Aku pun kebagian sesuatu yang istimewa: sebuah tasbih. Aku tak tahu terbuat dari apa, tapi butiran tasbih itu memiliki perpaduan warna hitam, putih, cokelat tua, dan cokelat susu. Di bagian pangkalnya ada ornamen seni dengan sentuhan islami, dan di ujungnya tergantung bentuk menyerupai bulan sabit seperti yang biasa kita lihat di atas kubah masjid.


Tasbih itu diberikan langsung padaku oleh Mami Yus. Bukan karena aku istimewa, mungkin hanya karena aku hadir. Tapi entah kenapa, rasanya seperti hadiah dari Allah.


Baca juga: "Puisi: Detik yang Menyimpan Wajahmu"


Namun, oleh-oleh terpenting hari itu bukanlah benda, melainkan cerita. Khususnya ketika Mami Yus menceritakan pengalaman mereka saat puncak ibadah haji.


Puncak ibadah haji adalah momen terpadat, paling melelahkan, dan paling sarat makna dalam seluruh rangkaian haji. Di sanalah para jamaah harus melaksanakan wukuf di Arafah, bermalam atau mabit di Muzdalifah, lalu melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melontar jumrah, hingga akhirnya melakukan tawaf dan sai di Masjidil Haram.


Dari semua itu, ada satu bagian yang membuat aku terdiam cukup lama: perjalanan kaki sejauh 28 kilometer dalam satu hari. Itu bukan angka yang kecil. Bayangkan, 28 kilometer dengan suhu yang mencapai 51 derajat Celsius. Bukan karena tidak ada kendaraan, tapi karena manusia tumpah ruah hingga mobil-mobil tidak bisa bergerak. Jika menunggu mobil bisa-bisa memakan waktu hingga 8–9 jam lamanya. Maka, satu-satunya jalan adalah berjalan kaki.


Mami Yus dan Bapak Arif melakukannya dengan sabar. “Secara logika, ya nggak mungkin kuat,” begitu kata mereka. Tapi justru di situlah letak ujian dan keajaiban dari ibadah haji. Sebanyak apa pun uang yang kamu punya, kalau Allah belum izinkan, kamu tidak akan bisa lewat. Ini bukan tentang siapa yang paling kuat atau paling kaya, tapi siapa yang paling tulus dan sabar.


Baca juga: Berawal Dari Pujian, Jadi Hobi yang Menguntungkan 


Dari cerita itu aku merasa, ibadah haji memang bukan sekadar ritual. Ia adalah latihan total: hati, fisik, dan niat diuji secara bersamaan. 


Bapak Arif bahkan sempat kehilangan jejak Mami Yus saat sedang tawaf. Ia bercerita bahwa sebelumnya ia sempat membatin ketika melihat pasangan lain yang berjalan agak berjauhan. Dalam hati ia bertanya, “Nggak takut pisah ya?” Dan ternyata, ia sendiri yang justru terpisah dari istrinya.


Dari sini aku belajar satu hal; jangan pernah merasa lebih tahu dari orang lain, bahkan hanya dalam hati sekalipun. Karena bisa jadi, Allah langsung memberikan pengingat dengan cara yang tidak kita duga.


Ada pula peristiwa saat Mami Yus pulang sendirian dari masjid setelah salat Isya. Ia menolak ditunggu rombongan karena merasa hafal jalan. Namun ternyata ia tersesat. Tidak satu atau dua kilometer, tapi sampai tujuh kilometer menyusuri jalan yang salah. Lagi-lagi, Allah seakan memberi pelajaran, bahwa bahkan untuk hal yang kita pikir kita kuasai, kesombongan sekecil apapun bisa membawa kita ke arah yang keliru.


Baca juga: Sepasang Sepatu dan Selembar Cinta yang Abadi


Cerita-cerita itu membuat aku tertunduk. Bukan karena takut, tapi karena rasa hormat. Betapa Allah punya cara yang sangat halus, namun tegas, untuk mengingatkan hamba-Nya. Aku sampai beberapa kali menundukkan kepala, menahan air mata, malu kalau terlihat menangis.


Banyak orang mengira bahwa haji itu hanya soal rukun dan syarat. Tapi dari kisah Mami Yus dan Bapak Arif, aku belajar bahwa haji adalah proses pembentukan hati. Ini bukan tentang seberapa kuat tubuhmu berjalan, tapi seberapa ikhlas kau bertahan. Bukan soal banyaknya doa yang dibaca, tapi seberapa tulus hatimu saat membacanya. Bukan soal siapa yang bisa ke sana lebih dulu, tapi siapa yang kembali dengan hati yang baru.


Dari rumah itu, aku pulang tidak hanya membawa tasbih. Tapi juga membawa pelajaran hidup. Tentang rendah hati, tentang sabar, dan tentang kejujuran niat. Dan tentu saja, membawa doa dalam hati agar suatu saat aku pun bisa menjejak di tempat yang sama. Dengan langkah ringan dan hati yang siap belajar.


Mungkin aku belum tahu kapan Allah akan panggil aku ke sana. Tapi hari itu, aku merasa telah diberi secuil rasa dari Tanah Suci. Bukan lewat pasir dan udara panasnya, tapi lewat cerita, tasbih, dan secangkir kesadaran bahwa perjalanan ke Baitullah itu sejatinya sudah dimulai. Dari sini. Dari hati.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih. 

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Ipar adalah Maut: Badai Rumah Tangga Tanpa Adanya Sebuah Tanda!

Poster Film Ipar adalah Maut yang dipajang di beranda XXI. Dokpri/Pecandu Sastra-2024. Ipar adalah Maut merupakan film yang diangkat dari kisah nyata, berawal dari cerita viral yang diunggah oleh Eliza Sifaa melalui akun TikTok miliknya di tahun 2023. Kisah ini merupakan cerita dari salah satu pengikutnya di platform digital tersebut. Berkisah tentang seorang mahasiswi yang dipinang oleh Dosen muda, di mana pernikahan mereka semakin sempurna berkat hadirnya sang buah hati. Namun sayang, kebahagiaan yang menghampiri mereka hanyalah sementara, sebab hadirnya seorang wanita yang tak lain ialah adik ipar dari sang suami.

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏.