![]() |
Ilustrasi oleh AI. |
Oleh: Cendekia Alazzam
"Selamat datang di bab 6 cerbung Pelukan yang Tak Selesai. Bagaimana episode sebelumnya nih? Masih mau lanjutkah? Baiklah, sebelum lanjut, teruntuk yang ketinggalan cerita bab 5, silakan baca di sini ya!!!"
Pagi itu, matahari masih enggan menampakkan wajahnya. Kabut tipis menggantung di halaman belakang rumah, meninggalkan embun di daun-daun mangga yang tumbuh tinggi. Faiz sudah bangun lebih dulu, duduk di teras dengan secangkir kopi hitam yang diseduh sendiri. Tinara baru keluar dari kamar, mengenakan daster panjang berwarna biru langit yang agak kebesaran.
"Pagi, Faiz," ucapnya pelan. Suaranya masih serak oleh sisa tidur, tapi senyumnya hangat.
"Pagi, Bu," jawab Faiz, sedikit kikuk. Setelah malam penuh pelukan itu, perasaan di antara mereka seolah menggantung di udara. Tak diucapkan, tapi terasa.
Tinara duduk di kursi di samping Faiz, lalu mengusap rambutnya yang berantakan. "Tidurmu nyenyak semalam?"
Faiz mengangguk pelan. "Lumayan. Walau sempat kebangun... mikirin obrolan kita."
Tinara menoleh, menatap pemuda itu lebih lama dari seharusnya. "Faiz... aku juga mikirin kamu. Dan pelukan itu. Aku takut, kalau itu terlalu... berani. Tapi rasanya begitu... damai."
Faiz menunduk. Ia tak pandai mengekspresikan apa yang dirasakannya, tapi dadanya hangat. Juga gugup. Ada detakan aneh setiap kali Tinara menatapnya lebih dari tiga detik.
Beberapa hari berlalu. Mereka mulai terbiasa mengobrol lebih dalam. Kadang di dapur, kadang di teras, kadang di kamar keluarga sambil menemani anak bungsu menonton kartun. Hingga suatu malam, ketika rumah kembali senyap, dan suara jam dinding menjadi pengiring waktu, mereka duduk bersebelahan di ruang tengah.
Tinara memutar film romantis tahun 90-an. Film yang dulu sering ia tonton diam-diam saat remaja. Faiz menonton dengan tenang, kadang tertawa kecil. Di tengah adegan canggung antara dua tokoh film, tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan di atas sofa.
"Maaf," ucap Faiz refleks, menarik tangannya cepat-cepat.
"Nggak apa-apa," jawab Tinara lembut. "Tanganmu hangat."
Keduanya diam. Film tetap berjalan, tapi perhatian mereka sudah beralih. Saat itu, Tinara perlahan memiringkan tubuhnya, menyandarkan kepala di bahu Faiz. Detik demi detik berlalu, hingga tangan Faiz pun bergerak pelan memeluk pundaknya.
Sebuah keheningan yang berbeda menyelimuti mereka. Bukan canggung, melainkan damai. Lalu, seolah waktu berhenti, Tinara mendongak. Wajah mereka hanya terpisah sejengkal. Nafas mereka bertaut. Dan tiba-tiba, bibir mereka bersentuhan - singkat, tak direncanakan, tapi begitu nyata.
Faiz kaget, begitu juga Tinara. Tapi tak satu pun dari mereka menarik diri. Ciuman itu berlanjut, lembut, penuh rasa takut dan penasaran yang membuncah. Ketika akhirnya mereka berpisah, Tinara menatap Faiz dengan mata bergetar.
"Aku nggak tahu ini salah atau nggak," bisiknya.
"Aku juga nggak tahu," balas Faiz. "Tapi... aku nggak ingin menjauh darimu bu."
Tinara tersenyum getir. "Panggil aku Tinara... kalau kita sedang berdua."
Sejak malam itu, keintiman di antara mereka tumbuh perlahan. Bukan ledakan gairah yang kasar, tapi kelembutan yang saling mencari ruang. Kadang Tinara bersandar di paha Faiz saat menonton televisi. Kadang Faiz membelai rambutnya saat mereka membaca buku bersama di kamar tengah.
Hari demi hari, pelukan menjadi biasa. Ciuman sesekali datang, seperti hadiah sunyi dari kebersamaan. Hingga suatu sore, saat hujan turun pelan, Tinara memeluk Faiz dari belakang di dapur. Tanpa kata, ia mengusap dada Faiz dari balik kaosnya, dan Faiz hanya bisa berdiri mematung, membiarkan perasaan memimpin segalanya.
"Aku kesepian terlalu lama, Faiz," bisik Tinara. "Dan kamu... membuatku merasa hidup lagi."
Faiz membalik tubuhnya, menatap wajah wanita yang selama ini ia hormati, dan kini diam-diam ia cintai. Lalu mereka berpelukan lagi, lebih erat, lebih lama, lebih dalam.
Hubungan mereka tak lagi bisa disebut hanya curhat. Tapi juga belum bisa disebut cinta, karena keduanya tak berani mengucapkan itu. Namun tubuh dan hati mereka sudah berbicara - lebih jujur dari kata-kata.
Dan begitulah, dari satu pelukan ke pelukan lain, mereka tenggelam dalam sesuatu yang tak pernah mereka rencanakan. Tapi kini tak tahu bagaimana harus menghentikannya.
[Bersambung...]
Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]
Comments
Post a Comment