Skip to main content

Mengabadikan Moment Bersama Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf

Momen foto bersama Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf. (Dokpri/Fadillah).


Setiap orang pasti memiliki momen “one in a million” dalam hidupnya. Sebuah peristiwa langka yang membuat kita tertegun dan merasa seluruh keberuntungan dalam setahun habis dalam satu hari.


Bagiku, salah satu momen itu terjadi pada tahun 2016, sebuah pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan, yaitu saat aku bertemu langsung dengan idola hatiku Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, pendakwah asal Solo, Jawa Tengah yang menyebarkan ajaran agama Islam lewat seni musik Islami (hadroh).


Saat itu aku sedang bekerja di sebuah kabupaten di Lampung, dan kebetulan kampung halamanku di Lampung Tengah akan mengadakan acara sholawat bersama beliau. Meskipun jaraknya lumayan jauh, sekitar 3,5 jam naik bus, aku tidak mau melewatkan kesempatan emas ini.


Beruntung, acara ini diadakan pada malam Minggu dan hari Sabtu adalah hari libur kerjaku. Jadi, tanpa perlu cuti, aku langsung pulang kampung untuk ikut bersholawat.


Niat awalnya hanya ingin menjadi bagian dari ribuan jamaah yang memadati lapangan, mendengarkan lantunan sholawat yang menyejukkan hati, dan merasakan kedamaian. Namun, takdir berkata lain. Kakakku, yang bekerja sebagai staf di rumah dinas Bupati kala itu, mengabariku bahwa Habib Syech akan mampir ke rumah dinas sebelum acara dimulai.


Perjumpaan yang Menggetarkan Hati


Foto bareng Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf di rumah dinas Bupati Lampung Tengah. (Dokpri/Fadillah)


Tanpa pikir panjang, aku ikut kakakku ke rumah dinas. Perasaanku campur aduk: antara tidak percaya, gugup, dan sangat bahagia. Jantungku berdebar kencang, seolah-olah akan meledak. Saat sebuah mobil berhenti dan Habib Syech turun, aku merasa waktu seolah berhenti.


Beliau berjalan dengan aura kharismatik yang luar biasa. Setelah berbincang sebentar, beliau dan Pak Bupati makan malam di ruang makan, sementara aku dan beberapa staf lain hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, karena kami bertugas membantu mempersiapkan segala sesuatunya.


Meskipun tidak bisa ikut makan malam bersama, aku tidak merasa kecewa. Justru, aku merasa beruntung bisa berada di tempat yang sama dengan beliau. Setelah makan malam, sambil menunggu mobil yang akan mengantar ke lokasi acara, Habib Syech beristirahat di ruang tamu. 


Di situlah aku mendapatkan kesempatan emas. Saat beliau bangkit dari kursi, aku langsung maju. Tangan yang selama ini hanya bisa kulihat di layar ponsel dan YouTube, kini ada di hadapanku. Aku mencium tangan beliau, dan aroma parfumnya begitu wangi dan menenangkan. Aroma itu begitu membekas, sampai-sampai selama acara sholawat berlangsung, aku tidak henti-hentinya mencium tanganku.


Tak hanya itu, aku juga mendapatkan kesempatan berfoto bersama. Kami berfoto di ruang tamu dan juga di area dapur. Rasanya seperti mimpi bisa sedekat itu dengan orang yang senandungnya selalu kudengarkan setiap hari. Rasanya, semua keberuntungan yang ku punya habis dalam satu malam itu.


Lebih dari Sekadar Pertemuan


ID Card Panitia (Kartu akses VIP) yang masih aku simpan hingga kini. (Dokpri)


Momen itu tidak berhenti sampai di situ. Berkat bantuan kakakku, aku mendapatkan akses VIP, yang memberiku kesempatan untuk duduk di barisan terdepan, sangat dekat dengan panggung. Selama ini, aku hanya bisa melihat beliau dari kejauhan, berdesak-desakan dengan ribuan orang lainnya. Kini, aku bisa melihat wajah teduh beliau dengan jelas, mendengar suara merdu yang menggetarkan jiwa, dan merasakan kedamaian yang luar biasa.


Acara sholawat malam itu terasa lebih sakral. Aku tidak hanya bersholawat, tetapi juga meresapi setiap liriknya, setiap getaran suaranya, dan setiap keikhlasan yang terpancar dari wajah beliau. Momen "one in a million" ini terasa sempurna.


Setelah malam itu, aku semakin yakin bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini. Impian yang awalnya terasa mustahil, bisa saja terwujud jika kita bersyukur dan tetap berprasangka baik pada takdir. Pertemuan itu menguatkan imanku dan cintaku pada Rasulullah, melalui lantunan sholawat yang beliau lantunkan dengan penuh cinta.


Meski aku sudah pernah berjumpa beliau kembali di tahun 2019 di Metro Kibang, Lampung Timur, dan terakhir di majelis Keramat Jati Bersholawat di Jakarta pada tahun 2021, momen perjumpaan pertama di Gunung Sugih, Lampung Tengah tetap menjadi yang paling berkesan.


Selain perjumpaan pertama yang sangat berkesan, momen itu juga sebagai bukti nyata bahwa terkadang keajaiban datang di saat kita tidak terlalu memintanya, ketika kita hanya fokus pada kebaikan dan ketulusan.

Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...