Move On Membawa Berkah

Penggalan kisah yang termuat dalam buku bersama "Setiap Kata Adalah Do'a" Penulis Muda Indonesia.


Oleh  : Senja Jingga Purnama (@pecandusastra96)


            Tidak pernah ada dalam mimpiku untuk pergi jauh dari orang-orang kesayangan, terutama kedua orang tua dan keluarga.  Tidak pernah ada dalam bayangan jika aku akan sampai disini, ditanah rantau pada negeri orang. Bukankah aku adalah orang yang tidak bisa untuk jauh dari mama? Pernah suatu ketika mama pergi kerumah paman di kota tetangga, pada saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas dua. Aku yang tidak diajak pergi sama mama menangis semalaman. Tidak mau makan dan minum, selalu saja merajuk ingin bersama mama.
Namun tidak pada hari ini, aku benar-benar jauh dari mereka, sekarang sudah terbiasa hidup sendiri dan serba mandiri.

          Dulu awal pertama jauh dari beliau-beliau itu, aku merasa sedih dan kesepian sebab belum terbiasa. Seminggu pertama aku jalani dengan ketidaknyamanan, apalagi ketika seluruh anggota keluarga paman pergi. Bibi dan abang pergi ke kota Jogja untuk menjenguk anak putrinya yang sedang menempuh pendidikan kedokteran disalah satu perguruan tinggi Islam disana, sedangkan paman sendiri ada dinas luar kota selama seharian. Aku yang ditinggal seorang diri merasa sangat kesepian. Maklum pada saat itu belum ada kenalan, untuk sekedar menyapa tetangga saja aku malu sebab belum saling kenal.
          Ditinggal seorang diri dirumah yang cukup megah, apalagi saat itu adalah hari libur. Jadi tetangga yang tinggal di kosan juga ikut pulang kampung. Ketika itu aku merasa salah tingkah, untuk makan dan minum saja tidak nafsu, nonton televisi semua cennel asing, untuk bahasa mereka saja aku tidak paham, ditambah komputer yang tidak bisa apa-apa.

          Awalnya aku enggak kuat dan merasa tidak kerasan untuk bertahan dirumah paman, namun aku ingat kembali akan mimpi-mimpiku, perjuangan untuk dapat menyelesaikan sekolah menengah atas dan lanjut ke jenjang perguruan tinggi membuatku terus bersemangat dan mampu bertahan melewati hari-hari yang suram. Aku tidak ingin jika nasibku sama seperti kedua orang tuaku yang hanya mampu menyelesaikan sekolah sampai tingkat menengah pertama.

Ya bukan aku tidak mensyukuri akan perjuangan dan kerja keras beliau, namun aku ingin merubah kedudukan keluargaku. Hingga pada suatu hari aku dipertemukan dengan seorang yang merubah pola pikir dan kehidupanku, aku yang dahulu tidak ingin berlama-lama tinggal ditanah rantau dan tidak ingin kembali lagi ketanah rantau jika sudah menyelesaikan sekolah. Namun kini perkataan itu seolah-olah menjadi hukuman bagiku, aku malah semakin kerasan untuk tetap berada di tanah rantau bahkan tidak ingin pulang ke kampung halaman.

          Usai menempuh ujian nasional, aku yang pada saat itu masih gencar untuk terus mencari beasiswa agar bisa lanjut kejenjang perguruan tinggi. Sebab cita-cita dan mimpi yang begitu besar untuk bisa melanjutkan pendidikan, aku ikut salah satu bimbel untuk persiapan seleski bersama masuk perguruan tinggi. Dan disitulah aku menemukan seseorang yang berperan dalam perubahan pola pikir dan pandangan hidupku.
Berbagai macam usaha aku lakukan dan berbagai macam jalur seleksi aku ikuti, persiapan demi persiapan telah disiapkan secara matang, namun takdir tetap berkata lain. Semua beasiswa yang aku raih tidak ada yang gol, dari seleksi mandiri, beasiswa etos, jalur siswa berprestasi, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri  (SBMPTN), SPAN-PTKIN, dan yang terakhir adalah jalur Penerimaan Mahasiswa Perluasan Akses Pendidikan (PMPAP).  Akupun pasrah dan ikhlas terhadap semua, mungkin belum saatnya aku melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi atau mungkin saja Allah punya rencana yang lebih bagus dari itu.

*******

Aku adalah pelajar yang cukup aktif, apalagi ketika bimbel persiapan seleksi beasiswa, selama masa karantina aku adalah siswa yang paling aktif dikelas. Sampai-sampai aku ditunjuk sebagai ketua kelas dan bahkan diangkat menjadi ketua alumni untuk angkatan pertama. Sebab keaktifan tersebut, aku menjadi lebih dekat dengan pimpinan bimbel, namanya Pak Anan. Sebab semua usaha yang dilakukan tidak membuahkan hasil, aku belajar untuk mengikhlaskan semua dan menguburkan mimpi-mimpiku untuk bisa melanjutkan pendidikan, namun ketika aku ikhlaskan semua tiba-tiba sebuah keajaiban datang. Pak Anan menghubungiku, beliau mengininkan agar aku tetap  lanjut kuliah disebuah perguruan tinggi dengan prodi sesuai dengan pilihanku pada saat itu yakni, Ilmu Komunikasi yang sesuai dengan bakat dan minatku. Namun dengan ketentuan yakni aku ikut membantu beliau selama perkuliahan. Sebab mimpi adalah mimpi yang harus terus diraih, maka akupun mengiyakannya.
Sejak itu, akupun mulai mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Akupun ikut bersama Pak Anan tinggal serumah dengan beliau. Awalnya merasa minder dan masih malu-malu namun beliau selalu memotivasiku untuk terus berjuang, bersemangat, dan terus percaya diri. Setaip hari aku selalu menemani Pak Anan kemana saja beliau pergi aku selalu ikut berada disamping beliau, begitu banyak pengalaman dan ilmu yang aku dapatkan.

Pak Anan adalah orang yang luar biasa, memiliki jiwa kepemimpinan yang besar. Jaringan yang luas mampu membuat beliau memiliki jam terbang yang padat dan banyak dikenal oleh masyarakat luas. Beliau orang yang baik, penyayang, dan penuh perhatian. Sikap beliau terhadapku tak jauh beda dengan sikapnya terhadap anak-anak beliau. Hal ini membuat aku jatuh hati kepadanya dan membuat aku mengidolakan beliau. Sosok yang begitu kharismatik dan berwibawa serta penuh kasih sayang, tak pernah beliau berkata kasar meski aku melakukan kesalahan, selalu beliau menasehati dengan baik. Beliau selalu menjadi penyemangat dan motivasi bagiku, setiap lelah dan masalah yang mengahampiri diriku dapat aku selesaikan secara perlahan berkat dukungan dan motivasi serta penyemangat dari beliau.
Sampai suatu ketika. Pagi itu pak Anan diam dan cuek kepadaku, aku tidak tahu dan tidak mengerti akan masalah yang terjadi. Tidak biasanya Pak Anan cuek begitu terhadapku, pernah aku memberanikan diri untuk bertanya apakah ada suatu masalah diantara kita? Namun aku tidak begitu mendapatkan pencerahan sebab Pak Anan hanya terseyum saja, dan bilang tidak. Jika memang tidak ada masalah diantara kita, lantas mengapa beliau bersikap seperti itu. Sejak saat itu pula beliau juga sudah jarang mengajakku untuk menemani beliau pergi, sekarang beliau lebih asik sendiri.

Hari-hari itu aku jalani dengan tidak bersemangat, aku banyak mengurung diri dikamar. Apalagi sejak Pak Anan mulai tidak akrab denganku. Aku bagaikan orang yang kehilangan arah dan tujuan, penyemangat dan motivator yang selalu menyemangati dan memotivasi setiap langkah dan perjalanan kini menghilang. Kuliahku berantakan, nilaipun menurun drastis. Apalagi ketika aku mendapat kabar dari kampung bahwa bapak sedang dirawat di rumah sakit sebab penyakit beliau kambuh. Sebab sudah lama tidak jumpa dengan bapak, aku izin pulang ke kampung halaman menjenguk bapak dengan meninggalkan suatu masalah yang masih belum terselesaikan dan kuliah yang mulai berantakan.
Sesampai di kampung halaman, aku langsung menuju rumah sakit dimana bapak di rawat. Dan disana aku benar-benar sangat down sekali, sebab pada pagi itu aku diminta dokter spesialis yang merawat bapak untuk menemuinya diruang kerja. Dokter bilang bahwa penyakit bapak sudah sangat berat, dan sangat kecil sekali harapan untuk bisa disembuhkan. Disini aku benar-benar kehilangan semangat untuk hidup. Masalah yang kemarin belum juga selesai dan sudah dihadapkan dengan masalah baru. Aku pasrah ya Allah terhadap kuasamu, apapun yang akan terjadi nanti aku ikhlaskan semua.

Tiga hari berlalu, apa yang dokter katakan kepadaku kini mulai menimbulkan sebuah kenyataan. Kondisi bapak semakin menurun, detak jantungnya mulai melemah. Tak banyak yang dapat aku lakukan melainkan pasrah terhadap apa yang akan terjadi, berdoa dan terus berdoa memohon yang terbaik kepada Allah. Pada malam itu aku dan sekeluarga besar dikagetkan, tiba-tiba saja bapak kejang-kejang, aku takut jika bapak benar-benar pergi. Mataku mulai berkaca-kaca, bibirku bergetar tak karuan, terbata-bata untuk membacakan yasin saja tidak kuat. Sekitar pukul 03.30 pagi hari Wib, pada hari Sabtu bapak pergi meninggalkan semua. Tangis haru keluarga mengiringi langkah kepergian beliau.   
Aku benar-benar terpukul akan kejadian ini, Pak Anan yang dahulu menjadi penyemangat dan motivatorku kini telah tiada, kuliahpun off, dan bapak pergi meninggalkan semua. Mengapa harus aku yang merasakan betapa pedihnya kehidupan ini ya Rabb. Mengapa aku dahulu tidak kembali saja kekampung halaman, dan mengapa harus secepat ini. Aku pasrah dan tak ingin lagi kembali ke rantauan. Semangat hidup saja tak ada lagi. Namun mama selalu mensupportku untuk terus kuat, tabah, dan selalu sabar. Mama bilang bahwa semua adalah cobaan dari Allah untuk mengukur sejauh mana tingkat kesabaran dan keimanan kita. Sebab itu aku kembali pulang ke tanah rantau, namun tidak untuk melanjutkan semua melainkan memulai kisah yang baru.

Aku kembali untuk menyelesaikan semua, tekad bulat untuk berhijrah ke lembaran baru benar-benar sudah keputusan yang matang. Aku harap dengan niat yang baik dan hati yang ikhlas, Allah akan lebih meridhoiku. Malam itu sengajaku laksanakan sholat istighkhoroh, memohon petunjuk kepada sang kuasa agar tak salah langkah.

          Aku izin pamit pada Pak Anan, orang yang dahulu menjadi penyemangat dan motivatorku. Mungkin kisah kami hanya sampai disini saja. Aku minta maaf pada pak Anan jika selama bersama beliau banyak kesalahan dan khilaf yang dilakukan. Pagi itu juga aku pulang kembali ke kampung halaman kerumah mama. Kini aku harus benar-benar mengikhlaskan semua, pekerjaan, kuliah, cinta, dan kasih sayang untuk terkubur bersama memori. Biarkan waktu yang akan mengenang semua kisah dan perjalanan ini. Aku hanya berharap agar tak akan terulang hal yang sama dan aku berharap agar kebaikan selalu menyertaiku.

*******
         
          Satu minggu berada dirumah bersama mama, aku banyak menghabiskan waktu untuk menulis dan membaca, sembari memikirkan kearah mana kaki akan melangkah serta jalan mana yang harus kutuju. Berminggu-minggu hidup dalam keadaan gundah gelisah tak menentu, untuk move on saja sangat susah sekali. Pagi itu, ketika aku sedang berziarah ke makam bapak, tiba-tiba terlintas dalam benakku untuk bersilaturahmi ke salah satu pesantren, dimana aku dan teman-teman seperjuangan pernah berada disana selama satu bulan karantina, mengikuti bimbel untuk persiapan menuju seleksi bersama masuk perguruan tinggi. Ya siapa tahu nanti disana bisa menemukan suatu keajaiban untuk bisa move on.

          Selama lima hari aku menghabiskan waktu bersilaturahmi di pesantren. Disitu aku dipertemukan dengan seorang anak, tubuhnya standar namun cukup berisi, wajah bening dan senyuman yang manis pada bibirnya, serta tatapan mata yang membuat tenang. Seketika melihat anak itu aku merasa nyaman, dan sangat tenang. Kutatap lamat-lamat anak itu, seketika perasaan gundah dan gelisah pada diriku menghilang. Aku seolah-olah menemukan semangat baru dalam diri dan motivasi untuk terus berjuang pada kehidupan.

          Dia adalah Alfa, santri baru asal Bengkulu. Alfa bilang bahwa dia adalah anak bapak Supri, seorang tokoh Badan Otonom Nahdlatul Ulama (Banom NU), Ketua PC GP Ansor periode lalu. Aku sangat terkejut ketika mendengar itu sebab beliau adalah sahabat sekaligus seniorku juga. Lima hari berlalu, pada hari akhir di pesantren aku diminta abah untuk menemuinya di ruang tamu. Aku diajak sarapan bareng sembari berbincang-bincang dengan beliau. Pada saat itu abah menanyakan kesibukanku, aku bilang bahwa untuk sekarang masih istiharat alias belum ada kesibukan dan beliau meminta kepadaku, jika tidak ada kesibukan untuk membantu beliau mengurusi sekolah di yayasan pesantren yang beliau pimpin.

Sebab aku ingin melupakan kejadian yang membuat aku down dan aku ingin move on dari peristiwa itu, apalagi aku melihat ada Alfa di pesantren yang membuat bangkit semangatku dan mampu menenangkan hati. Mungkin aku bisa menemukan jalan keluar disini. Aku hanya menunduk dengan kata Insha Allah, aku belum bisa memberikan jawaban pasti sebab aku harus koordinasikan terdahulu dengan mama sebab aku tidak ingin kesalahan lagi.

          Mama sih setuju selagi itu baik dan memberikan kenyamanan serta kebaikan untuk diriku, apalagi itu adalah pesantren. Mama hanya meminta agar aku tidak menyendiri di tanah rantau, sebab harus ada yang bisa mendampingi agar jika suatu saat ada apa-apa mama bisa dengan mudah berkoordinasi dan komunikasi. Alhasil sejak itu aku tinggal di pesantren, membuka lembaran baru dan kisah baru bersama santri didunia pesantren.
Sejak saat itu aku mulai akrab dan dekat dengan Alfa, dia yang selalu membuat semangat diriku, yang selalu menjadi inspirasi dan motivasi diriku. Ketika lelah dan masalah datang aku selalu ingin segera bertemu Alfa, sebab dengan melihat dia semangatku mampu bangkit kembali.

Seiring berjalannya waktu, aku merasa betah dan nyaman berada di pesantren. Akupun perlahan mulai melupakan peristiwa yang begitu pahit dan membuat luka. Perlahan akupun mulai move on melupakan kenangan-kenangan yang lalu bersama ribuan memori yang kini aku ikhlaskan untuk terkubur dalam-dalam. Kini aku hanya fokus terhadap apa yang sudah aku miliki sekarang, pekerjaan, keluarga, sahabat, dan masa depan yang harus diraih dengan kemenangan.

Merantaulah dalam mencari ilmu,niscaya kalian akan menemukan pengganti dari siapapun yang kalian tinggalkan~ Imam Syafi’i ~

No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.