Usai Pada Kata Pisah

“Usai Pada Kata Pisah”



By : Senja Jingga Purnama (@pecandusastra96)


          “Terserah,” kata terakhir yang Senja terima melalui pesan massanger facebook miliknya. Usai panjang lebar bertutur kata melalui pesan elektronik itu, ia terdiam tak berkutik sedikitpun.
           
            Entah mahluk apa yang tengah merasuki Richi, sahabat sekaligus saudaranya yang telah hampir tiga tahun bersama dalam satu atap. Setahun terakhir ini, semenjak Senja tak lagi berteduh dalam satu payung madrasah bersama sahabatnya itu, Richi mengalami banyak perubahan, terlebih sejak ia kenal akrab dan ikut tergabung dalam geng yang isinya delapan puluh lima persen sangat membenci dirinya.
            Hal yang begitu sepele, yang membuat mereka begitu benci dan tak suka. Sebab sikap Senja yang amat baik kepada semua orang yang menyebabkan dirinya banyak disukai dan bersahabat dengan siapa saja, serta perlakuan kepala Yayasan Permata yang ia dapatkan berbeda dengan yang lain. Sangat wajar jika pemuda berdarah Lampung itu mendapatkan perlakuan yang berbeda, sebab ia bukan lagi siswa di madrasah, melainkan purnasiswa lima tahun silam dari sekolah seberang.

            Postur tubuh yang dimiliki Senja memang tidak begitu tinggi dan berisi, serta wajah kuning langsat dan raut senyum yang selalu menerpa wajahnya. Hal itu yang menyebabkan orang-orang yang baru mengenal pemuda itu menyangka bahwa ia masih berstatus pelajar. Suatu ketika saat dimana ia diminta kepala madrasah tsanawiyah untuk mengantar berkas ke sekolah tetangga, ia disambut dengan pertanyaan yang membuat dirinya bingung dan menahan tawa.

            “Kau kelas berapa nak,” ujar Kepala Sekolah sembari menerima berkas yang Senja sodorkan.

            Ia tersenyum, menahan tawa. Tak berkutip apa-apa. Pakaian yang ia gunakan sama persis dengan siswa madrasah kenakan pagi itu. Nata turut tersenyum, segera ia meluruskan pertanyaan usai menatap Senja, sahabat sekaligus orang yang selama ini mengajarinya di madrasah.
            Menyadari akan hal itu, Pak Irwan sekalu kepala sekolah tertawa terbahak-bahak mendengar hal itu. Bagaimana tidak, ia benar-benar malu dan tidak tahu jika Senja sudah hampir tiga tahun menjadi pendidik di madrasah tsanawiyah milik Yayasan Permata.


    

            Sudah berkali-kali Senja peringatkan dengan baik kepada Richi, sahabat yang ia kenal sejak kelas satu tsanawiyah. Untuk tidak begitu akrab dengan teman-teman se-geng nya itu. Namun, bagaimanapun ia tidak punya hak untuk melarang Richi untuk bergaul terhadap siapa saja. Apalagi menghasut nya agar menjauhi dan membenci orang-orang yang anti akan dirinya.
            Sikapnya berubah drastis. Pribadi yang ia kenal dahulu tak lagi sama. Ia paham betul sahabatnya itu begitu baik, dan manut terhadap titahnya. Setiap permasalahan yang ia hadapi selalu bebas dan terbuka untuk dbicarakan bersama, terkecuali memang hal yang bersifat sangat privasi. Sekarang ia mulai tak sopan, tidak lagi beretika. Bahkan janji-janji persahabatan yang pernah mereka gaungkan telah banyak diingkari Richi. Tak hanya sekali atau dua kali ia melakukan kesalahan dan menyakiti pemuda itu, bahkan berulang kali ia lakukan meski telah memohon maaf dan berjanji untuk tidak lagi mengulanginya. Namun hasilnya tetap sama. Zonk!!!

            Segala sesuatu yang ia berikan kepada sahabatnya tak lagi pernah dihargai, bahkan lebih parahnya lagi setiap hal yang Senja belum berikan, dengan seenaknya ia kenakan tanpa seijin ia terlebih dahulu. Siapa yang tidak sakit hati? Bila ia tidak dianggap dan tidak lagi dihargai! Hal itu kerap kali membuat dirinya emosi dan menjadikannya pribadi pemarah sebab tensinya bertambah tinggi. Seandainya Richi ijin terlebih dahulu, pasti akan ia berikan untuk di kenakan. Bukankah selama ini Senja adalah sosok yang baik, bahkan tidak hanya padanya saja! Sampai hati ia tega bersikap macam itu.
            Sebagai sahabat yang baik. Sudah sangat wajar apabila saling bertegur sapa da saling mengingatkan. Terlebih, jika keduanya melakukan kesalahan, memberi nasihat, motivasi, serta arahan-arahan yang baik pula. Sahabat bukanlah orang yang berbicara tentang aib dibelakang, ia justru berterus terang apa adanya dihadapan kita, agar lebih baik lagi kedepannya.


    

            Sudah hampir sepekan Richi minggat dari asrama Madrasah Permata. Padahal proses belajar mengajar semester ganjil baru berjalan hampir dua Minggu. Tidak ada yang tahu jika bocah itu kabur, meninggalkan asrama. Lusa lalu, Senja tidak sengaja melihat seseorang yang mirip dengan Richi sedang bermain smartphone didepan rumah warga perkampungan gang Melati. Awalnya ia tidak mau seodzon, berprasangka buru dan mengira jika itu adalah sahabatnya. Namun setelah ia melihat akun facebook (fb)  milik Richi aktif dan ia telusuri asrama Madrasah Permata, memang benar ia kabur. Tapi mengapa, tidak ada satupun petinggi yayasan memberi tahu dirinya ataupun keluarga di rumah jika Richi meninggalkan asrama tanpa pamitan.
Setelah ia tahu sahabatnya itu kabur, segera ia beri tahu Papi dan Mami Richi, agar mencari anakya kerumah warga dimana kemarin ia melihatnya. Benar memang, sudah dua malam Richi minggat meninggalkan asrama dan bermalam di rumah Adi, teman sekolah dasar nya dulu. Usai berdebat beberapa saat, pemuda itu pulang bersama Richi dengan segala keterpaksaan yang terpaut pada hatinya. Sebab anak itu menolak untuk diajak pulang kerumah dan membrontak, oleh karena itu Senja sedikit memaksa, bersikap tegas. Namun sayang, belum juga anak itu bermalam di rumah, ia kembali lagi kabur.

“Chi, kau dimana,” tanya Senja melalui pesan massangger.

“Pulang Chi. Apa hal yang membuatmu begini. Ceritalah. Apa kau sudah tak sayang lagi dengan Papi dan Mami?”

Berkali-kali pemuda itu merayu agar Richi kembali pulang kerumah dan bercerita akan masalah yang sedang ia alami. Namun tetap saja ia bersikeras. Semua pesan yang Senja kirimkan melalui massanger  tak satupun mendapatkan balasan. Padahal ikon hijau kecil terpampang jelas pada profil akun fb miliknya. Menandakan bahwa ia sedang aktif (Online).

“Chi. Sebenarnya kau ini kenapa? Jawab to. Jangan buat orang risau!”

            Masih berharap, ada sesuatu yang mewakili sahabatnya untuk bertutur kata, menjelaskan hal yang menjadi prolem hidupnya kini.

            “Maaf Puan,” jawab Richi singkat membalas pesan yang begitu banyak. Panjang lebar sahabatnya kirimkan.

            Puan, adalah panggilan akrab untuk orang-orang terdekat dan para sahabat kepada Senja. Sengaja ia meminta untuk di panggil dengan sebutan itu, agar ada perbedaan dengan yang lain. Serta keakraban dan kamestri diantaranya juga didapatkan.


             Sebuah kata yang simpel. Entah apa maksud dari kata maaf yang ia utarakan melalui balasan pesan yang Senja kirimkan kepadanya. Ini merupakan hari ketiga setelah Richi kembali minggat dari rumah. Menurut informasi yang Senja dapatkan dari pihak madrasah, bahwasanya ia ijin pulang sebab sakit gigi. Sebab alasan itu sangat ringan sehingga pihak madrasah memberikan obat dan tidak mengijinkan Richi pulang. Namun sikapnya membuat ia melakukan tindakan yang kurang baik; ia kabur.
            Pandai sekali ia bersandiwara. Mencari alasan untuk pergi dan tidak ingin lagi kembali dengan dalih yang begitu sepele. Barang miliknya hilang-lah, makanan yang disajikan kurang lezat dan sering basi, dan macam lainnya. Tak begitu meyakinkan. Sudah paham akan sifatnya.

            Tak tahu hatrus pakai cara yang bagaimana lagi. Jika satu-satunya alasan yang menyebabkan ia kabur, sebab tak ingin lagi sekolah. Lantas mengapa harus kabur juga dari rumah! Semuakan bisa dibicarakan baik-baik dengan musyawarah dan mufakat bersama. Tidak perlu menghilang, buat gaduh seisi rumah. Macam buronan saja.


 Bruk!!!

Sengaja ia jatuhkan tubuhnya diatas ranjang kesayangan. Kasur empuk dengan busa tebal dihiasi seprei lembut tim bola kesukaan Senja; Barcaleona, bagai kain sutra. Begitu sangat ia sukai tim sepak bola tersebut. Entah apa ia kagumi. Hal yang membuatnya begitu tertarik bukanlah pemain sepak bola, melainkan lambang tim itu sendiri. Sebab perpaduan antara warna biru dan merah yang menjadi warna dasar tim tersebut, sangat indah untuk di pandang mata. Selebihnya itu hanyalah bonus.

“Puan, disuruh Papi mencari bang Richi,” seru Alea kepada Senja.

Sontak Senja terkejut dan lamunannya ambyar seketika. Bagaimana tidak! Alea masuk kamar tanpa permisi ataupun salam terdahulu.

“Alea, lain kali jika masuk kamar atau ruangan milik orang lain, biasakan ucap salam terdahulu. Setidaknya ketuk pintu. Enggak sopan jika kau nyelonong saja,” Darahnya mulai naik tensi, sebab perlakuan Alea yang mulai aneh juga. Richi. Alea. Semuanya sama. Keras. Susah diatur.

“Iya, Maaf Puan,”

“Hendak mencari abangmu kemana lagi,” jawab Senja dengan muka cetus. “Toh juga nanti abangmu bakalan kabur lagi kan? Semakin hari semakin aneh saja sikap abangmu itu” Lekas ia meraih kontak sepeda motor matic miliknya diambang lemari kayu klasik yang sudah mulai cacat.

“Huh nyusahin orang saja. Awas saja jikalau nanti bertemu, tak jotos tuh anak,” Senja nyeletuk enggak karuan, darahnya semakin meninggi. Ingin segera ia berjumpa Richi dan memberinya  pelajaran agar ia kapok.

“Ea.. Ea.. Alea...” Teriak Senja.

“Kau kenapa. Bengong saja. Apa kau juga mau kabur menyusul abangmu”

Alea terdiam. Tertunduk. Tak berani menatap wajah pemuda itu. Ia hanya mampu menjawab pelan, “Enggak... Kalau aku kabur, nanti makannya bagaimana?”
“Puan itu harus sabar. Jika Puan sayang sama Mami dan Papi, ya harus ikhlas melakukan perintahnya,” Alea mengelus pundak Senja pelan. Berbagai cara ia lakukan agar pemuda itu menurunkan nada pembicaraannya. Mengurangi tensi darah yang melambung tinggi tak karuan.

“Bijak sekali kau”

“Lha kan Puan yang mengajariku untuk selalu bersabar”

Jika saja tidak memandang Papi dan Mami yang sudah menganggapku seperti anak mereka sendiri. Sudah aku jotos itu anak. Sumpah!!! Semakin hari semakin enggak jelas saja sikapnya. Sudah aliyah bisanya memperbanyak masalah saja. Berkali-kali diperingatkan, jika ada masalah silahkan diobrolkan bersama, agar menemukan titik terang dan solusi.
Dasar bocah. Begini jika nasihat orang selalu diabaikan. Dampak pergaula yang berlebihan dan terlalu bebas. Nasihat, motivasi, banyak hal positif lainnya, selalu saja tidak pernah ia hiraukan.

Papi dan Mami juga tidak begitu perhatian dengan anak-anaknya. Terlebih Richi, sejak ia ditinggal di asrama tak pernah meraka berbicara meski sejenak bertanya keadaan kehidupan di asrama. Meraka selalu berasumsi jika ditinggal di asrama maka semua aman, justru semua semakin memburuk, tanpa adanya perhatian dan pengertian. Seandainya mereka open pada anak-anak, pasti semua tidak akan semacam ini. Bagaimanapun kita kita bisa menyalahkan anak-anak. Mereka lebih leluasa bersama orang tua dibanding orang lain. Sayang, Papi dan Mami hanya memikirkan pendapatan saja, padahal anak-anak tidak cukup hanya dengan dinafkahi. Mereka juga butuh perhatian dan pengertian, serta kasih dan sayang. Terlebih, hadirnya orang tua disetiap permasalahan yang mereka alami, itu lebih penting dari segalanya.

“Ea. Aku lelah. Tidak juga kita menemukan abangmu itu. Sudahlah kita pulang saja kerumah” Alea hanya mengangguk pelan. Angin malam semakin dingin menusuk-nusuk sampai tulang. Kilat menyambar satu persatu secara bergantian. Bulir air terjatuh membentuk gumpalan mutiara, membendung wajah Senja.

Malam semakin larut. Perkampungan mulai sepi ditinggal penduduk yang sudah banyak mulai beristiharat. Cuaca malam semakin menghantui, udaranya semakin dingin merasuk hingga tulang rusuk. Ditambah dengan kantuk yang menghakimi berlebihan. Tak tertahan mengajak ingin segera mendekap dalam dekapan selimut tebal.
Senja dan Alea memutuskan untuk kembali kerumah, biarlah jika nanti Papi memaki-maki secara habis-habisan sebab ia tidak juga menemukan Richi. Ia dan Alea sudah berkeliling mengitari perkampungan sampai masuk persawahan, tidak juga menemukan batang hidungnya. Yang ada hanyalah binatang buas seperti ular. Nasib untung tidak digigit.

“Biarlah. Entah apa yang ada dibenak anak itu,” Senja terlalu lelah. Jika-pun nanti ketemu toh pasti ia bakal kembali kabur lagi untuk menghindari dipulangkan ke madrasah. Seharusnya Papi dan Mami segera eksekusi dan telusuri apa yang tengah menimpa Richi. Jangan hanya mengeluarkan fatwa-fatwa yang menuntut saja. Anak-anak juga butuh di perhatikan. Begitu-pun dengan sikap. Kita harus tegas supaya anak-anak segan.

Pukul 22.35 waktu setempat. Senja kembali mencoba membuka massanger, ia melihat akun fb milik sahabatnya itu sedang aktif.

“Chi. Lagi apa?” Senja menyapa. Sengaja ia tidak membahas permasalahan yang tengah dialami Richi terlebih dahulu. Supaya Richi membalas terlebih dahulu chat darinya. Kedua kalinya ia kirimkan stiker senyum menyusul dalam pesan massanger tersebut.

Selang beberapa menit, tak juga mendapatkan balasan. Padahal pesan yang ia kirim tertanda telah terlihat.

“Chi?” Sekeras itukah sikapmu. Sampai tak sepatah kata –pun kau jawab. –“Kau kenapa Chi?”

“Untuk apa” ujar Richi singkat.

“Kalau kau punya problem ceritalah. Jangan kau pendam begini”

“Ah masa bodo” Desis Richi. Tak pedulikan dengan siapa ia sedang bercakap.

“Kau bukanlah anak kecil lagi Chi. Sudah bertahun-tahun kita bersahabat, saling mengenal. Selama ini jika kau punya masalah, tidak seperti ini ending-nya!” Apa ini yang kau anggap persaudaraan dan persahabatan! Senja benar-benar lelah dengan sikap sahabatnya itu yang berubah semakin drastis dan tak menentu.

“Terserah”

Richi benar-benar keras kepala. Enggak punya hati. Sampai teganya melihat Papi dan Mami yang sudah membanting tulang siang dan malam, hanya demi ia dan adik-adik. Tapi apa yang telah Richi perbuat? Lelah, letihnya mereka ia balas dengan sikap keras kepala dan hati panasnya. Buat orang khawatir saja.

“Apa kau sudah tidak sayang lagi kepada kami Chi” –Senja menghela napas. Tak tahu lagi, kata apa yang harus ia utarakan untuk membujuk Richi. Jangankan mengajak ia kembali kerumah, untuk sekedar membalas pesan yang ia kirim saja, membuatnya naik tensi.

“Bodok amat. Emang gue pikirin”

“Dasar bocah” –Senja mendesis tak karuan. Andai saja Richi berada didepannya, mungkin sudah ia jotos berkali-kali. Ia merasa muak.

Begitu teganya Richi lakukan semua. Setiap malam Senja menembus dinginnya angin, guna mencari batang hidungnya. Sampai tak ia hiraukan dinginnya menusuk sampai tulang rusuk, semua hanya karenanya.

“Kurang sayang apa aku?”

“Terserah. Bukan aku yang minta untuk dicari!”

“Tak perlu lagi Puan ikut campur dalam hidupku. Sudah. Cukup sampai disini. Tidak perlu lagi mengurusiku” –Puan sama saja dengan yang lain. Pergi jauh-jauh dari kehidupanku, jangan lagi ganggu.

            “Apa maksudmu Chi?” Senja semakin bingung. Dengan jawaban yang demikian. Tidak ada lagi jawaban yang asyik ia dengar, sungguh begitu kerasnya hati sampai tega berkata semacam itu. Jikapun benar itu Richi, sahabatnya yang berkata seperti itu. Tak segan ia pasti akan meninggalkan, sebab ia terlalu sakit memperjuangkan persahabatan dan persaudaraan yang telah lama ia jalin itu. Pergaulan itu benar-benar menguasai dirinya.

            “Ok! Mulai sekarang, jangan harap Puan perdulikan hidupmu lagi” –Jika itu yang ia mau dan membuatnya menjadi lebih baik. Senja akan pergi dan tak lagi ikut campur dalam segala urusan carut-marut dunianya. Ia lelah dengan sikap Richi yang semakin keras. Semakin Ia bersabar semakin aneh sahabatnya itu bersikap.
            Selama ini ia tidak pernah melarang sahabatnya untuk berteman dengan siapapun. Hanya satu yang ia pesankan dan harus selalu diingat, bahwasanya tidak semua yang dianggap baik, benar-benar baik untuk kita. –“Jangan harap aku kembali. Aku pamit.”

            Sampai kata terakhir. Senja tak sanggup menahan derai air mata yang mengalir deras membasahi pipi-nya. Bagaimanapun, tiga tahun lamanya ia menjalin hubungan yang baik dengan sahabatnya. Berjuang, mempertahakankan persahabatan yang kini menjadikan mereka saudara. Ia merasa bersalah, begitu santai dalam bersikap. Selama ini ia terus-menerus mengalah, dan hasil ending-nya; pupus.
            Sejak malam itu, ia tak lagi perdulikan Richi. Baik maupun buruknya dia bukan lagi bagian dari kepeduliannya. Cukup sudah luka berakhir di penghujung tetes tinda lembaran akhir ini. Richi bukan lagi sahabat yang ia kenal dulu. Entah doktrin macam apa yang telah disematkan oleh para jahanam itu padanya.

            Sore. Secara tiba-tiba Richi muncul dari balik pintu, menerobos masuk kamar. Ia pulang. Benar selama ini dugaan Senja, jika selama ini Richi bersembunyi di rumah kakek nya. Kok bisa coba? Bukankah sudah berkali-kali ia kesana-kemari, bolak-balik mencari Richi. Tidak juga ia berjumpa. Aneh. Persetan apa yang tengah merasuki ini bocah.
            Jika memang benar, bukan sandiwara. Mengapa orang-orang yang berada di rumah kakek terdiam, begitu tega ia membiarkan orang rumah pusing mencari keberadaan Richi selama ini. Sampai keliling kampong. Mereka justru membiarkan ia kabur. Seharusnya Richi dinasehati, diberikan arahan agar tidak lagi kabur dan kembali ke madrasah dengan damai.
           
Usai berbenah. Sore itu juga ia kembali ke madrasah. Ia pergi tanpa pamitan. Bahkan tak sepatah kata ia sampaikan pada Senja. Ia benar-benar memutuskan persahabatn dan persaudaraan sebagaimana pintanya di massanger kemarin. Sejak itu, Senja mulai move on dari sosok Richi. Ia tak mau lagi memperdulikannya, dan ia tak ingin berlama-lama larut dalam deraian luka. Yang lalu akan biarlah berlalu. Mulai kembali dengan kisah baru dilembar baru.
Sampai kapan-pun Senja tidak ingin menegur Richi. Ia begitu kuat dengan prinsip awal. Selagi benar dan tidak melakukan kesalahan. Tak akan pernah ia menegur terdahulu, siapa-pun itu. Meski ia telah tulus memaafkan.

No comments

Bagian 1 - Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

1/ Nabastala biru kian memudar, merah, jingga, orange, menggantikan peran memadati pemandangan senja yang kian tenggelam. Segera, usai berd...

Powered by Blogger.