Skip to main content

Di Penghujung Mei

Foto Wallpaper Better


Di penghujung Mei merupakan rangkaian puisi-puisi Pecandu Sastra atau Disisi Saidi Fatah. Masih sama pada puisi sebelumnya, membahas perihal duka, luka, dan air mata 


Bait-Bait Puisi


Menjadikanmu aktor utama dalam setiap bait puisi

Adalah kebiasaan yang sedang ku alami

Berlama-lama bermain dengan kata, rima, dan nada, mengajakku menari dengan bayang semu

Melukiskan indah senyum pada bibir mungil mu


Senyum yang kerap menjadi kobar semangat bagiku

Binar bening tatap matamu

Menjadikanku untuk selalu menetap dan berpaling dari yang lain

Teduh wajahmu adalah bagian bahagia yang ku punya 


Luka dalam setiap baitku

Adalah luka yang tak mampu ku bagi denganmu 

Luka sebab rindu untuk bersua, yang terpisahkan oleh waktunya kita

Luka untuk saling bertatap, yang terpisahkan oleh  jarak


Setiap bait tertulis

Aku berusaha untuk tidak menghakimi mu

Sebab aku tahu, setiap kata terucap adalah doa

Yang akan menjadi nyata pada masanya 


Bumi Ramik Ragom, 2019


Di Penghujung Mei 


Di penghujung Mei, di kala senja sore itu

Bergegas menepis genangan air, yang mengguyur setiap langkah

Dingin cuaca senja itu tak aku hiraukan,

Demi berjumpa kau seorang


Aku tak ingin menyiakan kesempatan

Menebus rindu, menembus waktu bersamamu

Tak sabar menikmati panorama indah pada bibirmu

Tak pedulikan apa yang terjadi pada diriku


Berjumpa denganmu. Hal itu yang slalu di benakku

Rinduku harus segera berakhir di penghujung Mei ini

Aku ingin kembali tersenyum, bahagia menyambut Juni nanti

Aku ingin kisah yang terukir pada Juni tak lagi ada duka maupun luka


Jikalau pun nanti ada,

aku harap tak sedikit pun namamu tercatat

Aku rindu senyum merekah pada bibirmu

Yang kau lontarkan dengan tulus padaku, sebagaimana tempo lalu


Blambangan Umpu, 2019


Dua Pasang Bingkai Kaca


dua pasang bingkai berkaca, terhiasi dua pasang poto terpajang pada diding sisi pintu kamar

satu hitam bergaris putih. satu putih berpola kuning emas 

keduanya sama berharga. sama-sama dicintai


masih banyak harapan dan impian yang belum terlaksana

keduanya memiliki karakter berbeda. keduanya ialah permata


sampai di sini, keduanya menjelma dalam mimpi

memahat kenangan yang sulit terlupakan


  Lampung, 2020


Sampai Batas Ini


Sampai batas ini aku memahami

Jika impian untuk menggapai bahagia bersamamu hanyalah ilusi, cerita fiktif penuh imaji

Akhir kata ini, aku pamit permisi

Semoga tuhan memberi yang lebih baik lagi







Comments

Popular posts from this blog

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏. 

Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi

  Gambar dibuat oleh AI. Halo, sahabat pembaca. Salam kenal, aku Cendekia Alazzam. Aku hendak menulis cerita bersambung, kurang lebih ada 10 bab. Dengan judul besar "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Bergenre Fiksi Realis, Drama Keluarga, dan Romance.

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Selamat Ulang Tahun Sahabat Kecil

Selamat ulang tahun kecilku. Dokpri©2025. Ist

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

Kenangan Habibana dan Abah serta rombongan. Foto Pecandu Sastra. Dokpri   Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur. Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu. Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah. Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah pu...