Skip to main content

[2] Dari Sudut Rumah yang Sederhana

Ilustrasi oleh AI


Halo semua, kembali lagi dengan cerita "Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi". Kali ini kita publikasikan Bab 2. Kami mohon maaf ya kepada para pembaca yang sudah menantikan updatenya, seharusnya update semalam, akan tetapi karena suatu hal, jadinya baru di update sore ini. 

Untuk yang ketinggalan bab sebelumnya, boleh banget ya dibaca >>>di sini<<<.

-----

       Setelah pernikahan yang sederhana namun sarat makna, Arfi dan Santi memulai babak baru dalam hidup mereka. Rumah mungil di pinggir kota menjadi saksi perjuangan mereka dalam membangun keluarga. Di rumah itulah, cinta mereka tumbuh bersama anak-anak yang kemudian lahir silih berganti. Laura, si sulung, lahir setahun setelah mereka menikah. Disusul Hafidz, dan kemudian Rayyan. Ketiganya hadir seolah tanpa jeda, masing-masing hanya berselisih satu tahun.


Tiga balita dalam satu rumah kecil. Tangisan, tawa, botol susu, popok, mainan berserakan, dan baju-baju kecil yang belum sempat dilipat—semuanya menjadi pemandangan harian. Tapi bagi Arfi dan Santi, semua itu adalah berkah. Mereka tidak pernah mengeluh, walau lelah sering menyapa tubuh dan pikiran.


Arfi tetap aktif sebagai jurnalis dan aktivis sosial. Di pagi hari, ia menyempatkan diri membantu Santi menyiapkan sarapan dan mengurus anak-anak. Saat siang menjelang, ia keluar menghadiri rapat, mengajar di komunitas, menulis artikel untuk beberapa media, atau memantau proyek sosial yang sedang ia jalankan. Malamnya, ia pulang dan ikut menidurkan anak-anak.


“Capek, Fi?” tanya Santi suatu malam ketika Arfi merebahkan diri di lantai dengan anak-anak yang sudah tertidur di sekelilingnya.


Capek. Tapi ini capek yang manis,” jawab Arfi sambil tersenyum.


Santi tahu, suaminya itu bukan hanya suami dan ayah bagi keluarganya. Ia adalah ayah bagi banyak orang, sahabat bagi banyak pejuang muda, dan mentor bagi mereka yang baru merintis jalan dalam dunia sosial. Tapi meski begitu sibuk, Arfi tak pernah absen menjadi ayah yang hadir.


Saat Laura demam dan Santi panik, Arfi yang memeluk anak pertamanya erat sambil membacakan cerita kecil dari buku dongeng. Saat Hafidz jatuh di taman, Arfi yang pertama kali menenangkan dan membawanya ke puskesmas. Saat Rayyan rewel sepanjang malam, Arfi juga yang menggendongnya keliling ruang tamu sambil bersenandung.


Di sisi lain, Santi juga berjuang dengan caranya. Ia mengajar di sekolah negeri, menghadapi puluhan siswa setiap hari dengan penuh kesabaran. Tapi pulang ke rumah, ia tetap menjadi istri dan ibu yang hangat. Mereka saling memahami peran dan saling menopang.


Kadang, ketika malam terlalu sunyi dan anak-anak sudah tidur, mereka duduk di teras rumah yang sempit. Hanya ditemani segelas teh dan bintang di langit.


Fi,” kata Santi suatu malam, “kalau nanti kita sudah tua, kamu masih mau kayak gini? Duduk berdua, cerita-cerita begini?”


Arfi menoleh, menatap wajah perempuan yang telah menjadi rumahnya itu. “Kalau aku bisa memilih, aku ingin tua bersamamu. Duduk di sini, dan masih mencintaimu seperti pertama kali kita bertemu. Bedanya, rambut kita mungkin sudah putih semua.”


Santi tertawa pelan. “Kamu itu, selalu tahu cara membuat aku meleleh.”


Namun di balik kebahagiaan itu, Arfi mulai merasakan sesuatu yang mengganggu tubuhnya. Lelah yang tak biasa, pusing yang tak wajar, dan luka kecil yang lambat sembuh. Tapi ia mengabaikannya. Ia pikir itu hanya kelelahan biasa. Ia terlalu sibuk mencintai dunia, hingga lupa mencintai tubuhnya sendiri.


Suatu hari di usia 35 tahun, saat ia baru saja dilantik sebagai ketua pemuda di daerahnya, ia pingsan di tengah kegiatan sosial. Setelah diperiksa, dokter memvonisnya menderita diabetes. Santi yang pertama kali menangis. Tapi Arfi hanya tersenyum.


Aku masih bisa hidup, San. Masih bisa menulis, mengajar, dan mencintai kalian.”


Sejak saat itu, Santi semakin protektif. Ia mengatur pola makan Arfi, menyiapkan makanan khusus, dan memastikan ia tidak terlalu lelah. Anak-anak pun mulai belajar untuk tidak terlalu ribut jika Papa sedang istirahat.


Kehidupan mereka berjalan penuh cinta. Rumah mereka mungkin kecil, penghasilan mereka tidak mewah, tapi hati mereka lapang. Dalam keterbatasan, mereka menemukan banyak alasan untuk bersyukur.


Di tengah semua itu, mereka tak pernah menyangkan bahwa takdir sedang menyiapkan pertemuan baru. Seorang gadis remaja yang kelak akan menjadi bagian penting dalam hidup mereka. Sosok yang akan membuat cinta mereka tumbuh dalam bentuk yang lain—kasih sayang tanpa darah, namun sekuat ikatan batin seorang ayah dan anak.


Dan begitulah rumah kecil itu terus menyimpan kisah. Sebuah rumah yang tak hanya diisi oleh tubuh, tetapi oleh cinta, perjuangan, dan harapan.

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih.