Skip to main content

Tanpamu Aku Baik-Baik Saja: Sebuah Renungan Cinta, Hijrah, dan Harga Diri

 

Buku Tanpamu Aku Baik-Baik Saja, dalam potret Cendekia Alazzam yang dipadukan dengan AI


       Menjalani masa muda tak lepas dari perasaan jatuh cinta. Ia hadir tiba-tiba, tanpa bisa dicegah. Namun, tidak semua kisah cinta layak dipertahankan. Sebab, cinta sejati tak hanya soal memiliki, tapi juga soal kesiapan, tanggung jawab, dan nilai-nilai kebaikan yang dibawa dalam hubungan tersebut.


Salah satu alasan utama seseorang memilih mengakhiri hubungan adalah karena belum siap melangkah ke jenjang pernikahan. Begitu pula yang aku alami. Kala itu, aku memilih "putus" bukan karena tidak cinta, tapi karena tahu bahwa melanjutkan hubungan tanpa tujuan yang jelas hanya akan membawa diri ke jurang kemaksiatan. Bahkan hal kecil seperti berpegangan tangan, ketika iman sedang lemah, bisa menjadi awal dari tergelincirnya hati dan akhlak. Aku takut dan sadar bahwa iman itu rapuh - setipis tisu, mudah robek berkali-kali.


Perjalanan hijrahku tidak terjadi seketika. Beberapa tahun setelahnya, aku mulai memahami makna cinta yang sesungguhnya - yang tidak melulu tentang lawan jenis. Dan baru-baru ini, aku menemukan pelengkap dari perenungan itu dalam sebuah buku berjudul Tanpamu Aku Baik-Baik Saja karya Tia Marty, terbitan Khazanah Intelektual (171 halaman, Januari 2024). Buku ini begitu menyentuh, sederhana dalam penyampaian, tapi kaya dengan makna dan pencerahan.


Melalui gaya penulisan yang ringan dan relatable, Tia Marty mengajak para pembaca muda untuk merenung tentang hakikat cinta yang hakiki. Buku ini sangat cocok bagi siapa saja yang sedang dalam fase hijrah atau mempertimbangkan untuk memperbaiki diri. Pesan utamanya tegas: sebelum mencintai orang lain, sudahkah kita mencintai diri sendiri? Sudahkah kita memenuhi hak-hak diri, menjaga kehormatan, dan menumbuhkan rasa syukur atas kehidupan yang dimiliki?


Baca juga: Filosofi Sepeda Untuk Hidup yang Lebih Bermakna 


Buku ini juga mengingatkan bahwa cinta bukan hanya soal pasangan. Ada cinta kepada diri sendiri, kepada orang tua, kepada guru, kepada lingkungan, dan terutama kepada Allah SWT. Ketika cinta kepada-Nya menjadi prioritas, maka semua rasa dan hubungan akan terasa lebih sehat dan bermakna.


Penulis menyampaikan dengan lembut namun tegas: jika belum ada niat menikah, lebih baik akhiri hubungan dan perbaiki diri terlebih dahulu. Pacaran setelah menikah jauh lebih indah, lebih berkah, dan pastinya lebih menentramkan hati.


Jangan ragu untuk berhenti sejenak dan memperbaiki arah. Hijrah bukan berarti meninggalkan cinta, tapi memurnikannya. Belajarlah mencintai diri sendiri dengan cara menjaga diri dari yang tidak baik. Karena tanpanya - tanpa dia yang belum halal itu - kamu tetap akan baik-baik saja, bahkan mungkin lebih baik.


Baca juga: "Qasidah Burdah: Bukan Sekadar Puisi, Tapi Penyembuh Hati"

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih.