![]() |
Ilustrasi oleh AI |
Oleh: Cendekia Alazzam
"Salam. Terima kasih ya masih setia dengan cerbung alias cerita bersambung "Pelukan yang Tak Selesai". Dan, selamat datang di Bab 8. Bagi yang ketinggalan bab sebelumnya, silahkan baca di sini!!!"
Hari itu hujan turun pelan, menyisakan embun di kaca jendela ruang makan. Tinara duduk sendirian sambil menyeruput kopi yang sudah dingin. Di seberangnya, bangku kosong yang biasanya ditempati Suwantra tetap tak terisi. Lelaki itu semakin jarang pulang tepat waktu, dan ketika pulang pun, tubuhnya hadir tanpa jiwa.
Faiz muncul dari dapur, membawa sepiring roti bakar. Ia tersenyum ketika melihat Tinara, lalu duduk di sisi bangku kosong itu. "Kopi dingin itu nggak enak, tahu, Bu. Bikin perut mules."
Tinara menoleh, senyumnya lemah. "Udah kebiasaan. Lama-lama juga biasa."
Faiz menatapnya sejenak, lalu bangkit dan kembali ke dapur. Tak lama ia kembali, membawa secangkir kopi baru, masih mengepul. Diletakkannya perlahan di depan Tinara. "Yang ini lebih layak diminum."
Tinara tersenyum kecil. "Kamu terlalu perhatian."
"Karena aku peduli," jawab Faiz, tenang.
Mereka duduk dalam keheningan yang hangat. Tak lama kemudian, anak-anak pulang dari les dan suasana rumah kembali ramai. Namun, aroma tubuh Tinara yang samar tertinggal di udara, membekas di hidung dan pikiran Faiz.
Malamnya, Faiz berjalan menuju kamar mandi di lorong belakang. Ia terbiasa mandi malam di sana sejak tinggal di rumah itu. Saat melewati kamar Tinara, ia tak sengaja melihat pintunya sedikit terbuka. Uap air keluar pelan dari sela pintu kamar mandi dalam kamar itu.
Langkahnya terhenti. Dari balik celah pintu, terdengar suara gemericik air dan samar-samar, suara lirih Tinara bersenandung. Faiz terpaku. Ada sesuatu dalam suaranya - lembut, melankolis, dan memabukkan.
Ia menelan ludah, lalu buru-buru menjauh. Tapi pikirannya tak bisa meninggalkan suara itu. Dan aroma sabun lembut yang khas milik Tinara ikut menghantui langkahnya.
Keesokan paginya, Faiz duduk sendirian di ruang tamu. Buku-buku pelajaran terbuka, namun pikirannya tak di sana. Ia menatap kosong, mengingat kejadian semalam. Aroma tubuh Tinara seperti menempel di kulitnya, dan ia mulai menyadari sesuatu yang lebih dalam.
Ia bukan hanya tertarik. Ia mulai terobsesi.
Tinara muncul dari dapur, rambutnya masih basah, tubuhnya terbalut kaus longgar dan celana santai. Ia menghampiri Faiz, meletakkan sepiring camilan di meja. "Kamu belum sarapan ya?"
Faiz mengangguk pelan. "Belum. Tapi aku kenyang lihat kamu."
Tinara tertawa kecil. "Kamu mulai genit ya sekarang."
"Serius," balas Faiz, menatap mata Tinara dengan dalam.
Tatapan itu membuat Tinara sedikit gugup. Ia memalingkan wajah dan pura-pura sibuk menyusun piring. Tapi pipinya bersemu merah, dan jantungnya berdetak lebih cepat.
Siang itu, ketika anak-anak tidur siang dan rumah sepi, Tinara masuk ke ruang tamu mencari sesuatu. Faiz sedang membaca, duduk di sofa dengan kaki terlipat. Saat Tinara lewat, tangan Faiz tanpa sadar menyentuh pinggangnya ringan.
"Maaf... refleks," ucap Faiz cepat.
Tinara tak marah. Ia hanya diam. Tapi tubuhnya gemetar. Saat ia balik badan, mereka saling bertatapan - lalu, tiba-tiba, langkah Tinara kembali mendekat. Ia duduk di samping Faiz, sangat dekat.
"Faiz... kamu pernah merasa... kehilangan arah?" tanyanya pelan.
"Setiap hari," jawab Faiz jujur.
Tinara mengangguk. Lalu, tanpa sadar, ia menyandarkan kepala ke bahu Faiz. Aroma tubuhnya menyeruak, lembut, hangat. Faiz memejamkan mata, menahan napas, seolah ingin menyimpan aroma itu dalam ingatannya.
Tak ada yang mereka katakan setelahnya. Hanya napas yang berirama, detak jantung yang perlahan menyatu. Batas-batas di antara mereka semakin tipis. Bukan lagi hanya guru dan ibu dari murid. Bukan hanya teman curhat atau sahabat keluarga.
Kini, Faiz telah menjadi bagian dari hasrat yang tak lagi bisa diingkari. Dan semuanya dimulai dari aroma. Aroma yang membawa rasa. Rasa yang menggetarkan.
Di balik dinding kamar, Suwantra masih sibuk dengan pekerjaannya. Tak tahu, atau mungkin tak peduli, bahwa di ruang tengah, benih dari sesuatu yang tak bisa diurungkan tengah tumbuh.
Sesuatu yang bisa saja meledak - atau menjadi pelarian terakhir bagi hati-hati yang kosong.
[Bersambung...]
Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]
Comments
Post a Comment