![]() |
Ilustrasi disediakan oleh AI. |
"Enjoy your fantasy journey. Bagaimana dengan suasana bab 6? Mendebarkan? Jantungmu aman kan! Selamat datang di bab 7 cerbung 'Pelukan yang Tak Selesai'. Bagi yang kemarin ketinggalan bab sebelumnya, silakan baca di sini ya!"
Suasana rumah tampak tenang, seperti biasanya. Anak-anak sudah tidur, dan suara televisi di ruang keluarga menyala pelan. Film dokumenter tentang alam mengalun lembut, menampilkan pemandangan hutan hujan dan suara-suara burung eksotis. Di sofa panjang yang empuk, Tinara duduk dengan mengenakan piyama tipis berwarna krem, rambutnya digelung asal-asalan, wajahnya bersih tanpa riasan. Faiz duduk di lantai, tepat di samping kakinya.
"Kamu nggak capek, Faiz? Udah nemenin si kecil tidur, sekarang masih aja duduk di sini," ucap Tinara sambil mengusap kepala Faiz yang bersandar santai ke pahanya.
Faiz tersenyum tipis, matanya menatap layar TV sambil tangannya memainkan ujung daster Tinara yang jatuh di samping wajahnya. "Nggak, Bu... eh, Tinara. Aku malah suka begini. Rasanya... damai."
Tinara menghela napas panjang, kemudian tertawa kecil. "Lucu ya. Dulu aku pikir rumah ini akan selalu penuh cinta. Tapi ternyata... justru kamu yang membuat aku merasa disayangi lagi."
Faiz menengadah, menatap wajah Tinara dari balik pahanya. "Aku juga nggak nyangka. Tapi aku senang di sini. Sama Ra. Sama... semuanya."
Tinara mengelus pipi Faiz. Lembut, seperti seorang ibu. Tapi tatapannya kini jauh berbeda. Ada kerinduan yang mendalam, ada rasa yang perlahan berubah. Faiz pun merasakan hal yang sama - sebuah getaran yang tak bisa ia lawan.
Malam itu, mereka tertawa bersama. Menceritakan hal-hal ringan, dari masa kecil Faiz yang suka bermain layangan sampai kenakalan anak bungsu Tinara yang pernah menyembunyikan kunci mobil di dalam kulkas. Tawa mereka mengalir alami, ringan, dan membebaskan.
"Faiz, kamu tahu nggak... terakhir aku ketawa kayak gini, mungkin tiga tahun yang lalu," kata Tinara, matanya berkaca-kaca, meski bibirnya masih tersenyum.
Faiz diam, lalu menggeser tubuhnya sedikit. Kini ia benar-benar merebahkan kepala di paha Tinara, lalu menatap langit-langit. Tinara membiarkannya. Tangannya tetap membelai rambut Faiz perlahan. Sentuhan itu bukan lagi canggung. Mereka sudah terbiasa.
"Kalau begini salah... kenapa rasanya benar ya?" bisik Faiz, hampir tak terdengar.
Tinara tak menjawab. Hanya menunduk, lalu mengecup dahi Faiz pelan. Faiz menutup mata, merasakan kehangatan bibir itu menempel pada kulitnya. Ada gelombang halus yang menjalar dari kepalanya ke seluruh tubuh.
Beberapa menit kemudian, Faiz duduk tegak. Mereka saling menatap. Tak ada jarak, tak ada ragu. Lalu Faiz tertawa kecil, "Paha Ibu... eh, Tinara... empuk banget. Nggak nyangka bisa jadi bantal favoritku."
Tinara tertawa lepas. "Dasar anak nakal."
"Tapi aku serius. Di sini aku merasa paling tenang. Nggak ada tempat lain yang kayak gini."
Wajah Tinara berubah lembut. Ia lalu mencubit pipi Faiz manja. "Kamu tuh... bikin aku lupa kalau aku sudah jadi istri orang."
"Aku juga lupa kalau aku cuma guru privat," balas Faiz, tersenyum miring.
Lalu, di antara canda dan keheningan, pelan-pelan tangan mereka bertaut. Suasana tak lagi hanya akrab. Kini mulai menggoda. Nafas mereka semakin dekat. Bibir Faiz nyaris menyentuh dagu Tinara, tapi ia menahan diri.
"Aku nggak mau buru-buru," bisik Faiz.
Tinara mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi aku juga nggak mau berhenti."
Tak ada yang terjadi malam itu. Tak ada letupan besar. Hanya ciuman ringan di pipi, pelukan pelan dari belakang saat Faiz hendak ke kamar. Tapi semuanya terasa... dalam. Lebih dari sekadar sentuhan.
Dan Suwantra? Malam itu ia pulang larut seperti biasa. Menyapa seadanya, mencium anak-anak yang tidur, lalu masuk ke kamar tanpa menengok ke ruang tengah. Seolah memang tak ingin tahu. Atau pura-pura tak peduli.
Sementara di luar kamar, tawa ringan masih terngiang. Tawa yang lahir dari kehangatan, dari kebebasan yang diam-diam menyimpan luka. Di atas paha seorang wanita yang kesepian, seorang pemuda menemukan tempat pulang. Meski itu bukan rumah miliknya.
[Bersambung...]
Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]
Comments
Post a Comment