![]() |
| Ilustrasi oleh AI. |
Oleh: Cendekia Alazzam
"Halo semua, selamat datang di bab 9. Aku harap kalian nggak bosan dengan ceritaku. Terima kasih ya telah setia menanti dan membaca karyaku. Bagi yang belum membaca, silakan baca di sini ya!"
Pagi datang dengan langit kelabu. Hujan semalam menyisakan genangan kecil di halaman, dan udara lembap merayap masuk ke sela-sela rumah. Tinara berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Matanya menangkap bayangan tubuh sendiri, namun pikirannya melayang pada kejadian kemarin.
Ia tahu Faiz mengintip. Dan anehnya, ia tak marah. Malah... ada rasa lain yang muncul. Rasa yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat ketika mendengar langkah kaki Faiz mendekat ke arah dapur.
Faiz muncul sambil membawa dua handuk. "Mesin air hangat di kamar mandi belakang mati, Bu. Aku mau numpang mandi di kamar utama. Boleh?"
Tinara menoleh. Ia tersenyum kecil. "Masa harus minta izin dulu, Faiz. Sudah kayak anak sendiri aja."
"Tapi kan bukan anak sungguhan..." ucap Faiz, setengah bergurau, setengah serius.
Tinara diam sejenak. Tatapan mereka bertemu. Ada jeda yang panjang, seperti waktu yang enggan bergerak. Lalu ia mengangguk pelan. "Pakai saja. Tapi jangan lama-lama, airnya kadang mendadak dingin."
Faiz mengangguk dan masuk ke kamar. Tinara menyusul beberapa menit kemudian, membawa pakaian yang tadi tertinggal. Saat membuka pintu, uap hangat menyeruak. Kamar mandi tidak terkunci. Ia ragu sesaat, lalu melangkah masuk, hanya ingin meletakkan pakaian. Tapi di sana, di balik tirai kaca yang bening, tubuh Faiz tampak samar.
Tinara terdiam. Faiz menoleh. Mereka saling pandang. Sekejap. Tapi cukup untuk membakar seluruh udara di antara mereka.
"Maaf... aku nggak sengaja," ucap Tinara pelan, hendak pergi.
Tapi Faiz membuka tirai sedikit. Wajahnya muncul, rambutnya basah, mata tajam tapi lembut. "Ara... mau sekalian? Airnya masih hangat."
Itu bukan ajakan biasa. Tapi juga bukan paksaan. Ada ruang kosong dalam kalimat itu, yang bisa diartikan apa pun oleh hati yang sedang kosong.
Tinara menatapnya. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa dilihat. Dihargai. Diinginkan.
Dengan tangan gemetar, ia menggantung pakaian di gantungan, lalu membuka kancing bajunya satu per satu. Perlahan. Diam. Sampai akhirnya ia masuk ke dalam pelukan uap dan suara gemericik air.
Tubuh mereka beradu tanpa kata. Tidak terburu-buru. Tidak liar. Hanya ada dua manusia yang saling menemukan kehangatan di tempat paling rapuh. Faiz menyentuh wajah Tinara seolah itu porselin. Tinara membalas dengan membiarkan dirinya larut, menyentuh dada Faiz, merasakan degup jantungnya yang cepat.
Mereka mencium, lembut, penuh getaran. Ciuman itu seperti menjawab banyak pertanyaan yang tak pernah terucap: kenapa aku kesepian? Kenapa aku tetap tinggal? Kenapa kamu datang?
Mandi mereka menjadi perjalanan sunyi. Tidak hanya tubuh yang basah, tapi juga batin. Ada luka yang perlahan dibilas air hangat. Ada rindu yang mencair, bercampur dengan uap dan peluh.
Usai mandi, mereka duduk berdua di tepi ranjang, mengenakan handuk dan diam. Tak perlu bicara. Dunia terasa lebih pelan, lebih jujur.
Tinara menyandarkan kepala di bahu Faiz. "Aku takut."
"Aku juga," jawab Faiz. "Tapi aku lebih takut kehilangan rasa ini."
Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi pagi ini, tubuh mereka telah berkata lebih banyak dari kata-kata. Dan di luar sana, suara hujan kembali turun pelan, seolah ingin menyembunyikan semua yang telah terjadi di balik tirainya.
Sementara itu, Suwantra baru saja mematikan telepon di kantor, terlalu sibuk membahas proyek luar kota. Ia belum akan pulang malam ini. Dan ia tak akan tahu, bahwa sementara hujan mengguyur atap rumahnya, cinta istrinya perlahan berpindah arah - dalam sunyi, dalam basah, bersama orang lain.
[Bersambung...]
Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]

Comments
Post a Comment