![]() |
Tangan kecil terangkat bertuliskan “Stop Bullying” — isyarat sunyi dari anak-anak yang lelah jadi sasaran tanpa pelindung. (Foto: RSAS Kalsel) |
Ada yang terasa mengganjal di dada saat membaca berita pagi ini dari Toboali, Bangka Selatan. Seorang anak SD, inisial Z, usia 10 tahun, meninggal dunia. Bukan karena kecelakaan, bukan pula karena penyakit bawaan. Tapi karena dugaan perundungan — bullying yang dilakukan oleh teman-teman sebayanya di sekolah.
Sejak kapan sekolah, tempat anak-anak belajar dan bermain, menjadi ladang luka bagi sebagian dari mereka?
Z, siswa kelas 5 SDN 22 RIAS, sempat dirawat intensif di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal. Pamannya, melalui media sosial, menceritakan bahwa Z adalah korban perundungan di sekolah. Dan seperti banyak kasus serupa, cerita ini baru mengemuka setelah semuanya sudah terlambat — setelah nyawa tak bisa lagi diselamatkan, setelah tangis keluarga menggantikan tawa masa kecil yang seharusnya masih panjang.
Apa yang sebenarnya terjadi? Pihak kepolisian masih menyelidiki. Tapi di luar soal teknis hukum, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya dalam hati: seberapa serius kita memandang perundungan di sekolah?
Bukan Sekadar “Bercanda Anak-anak”
Kita sering terlalu ringan menanggapi kekerasan verbal dan fisik di antara anak-anak. Kadang orang dewasa bilang, “Namanya juga anak-anak, nanti juga baikan lagi.” Atau, “Ah, cuma bercanda.” Tapi bercanda macam apa yang membuat seorang anak harus berakhir di ruang operasi karena infeksi usus? Bercanda macam apa yang membuat anak menahan sakit, baik di tubuh maupun batinnya, hingga meregang nyawa?
Masalahnya, kita tidak cukup peka. Anak-anak tidak punya bahasa seluas orang dewasa untuk mengungkapkan rasa sakitnya. Mereka menangis diam-diam, menahan malu, takut, atau bahkan merasa bersalah karena tak bisa membela diri. Sementara lingkungan — sekolah, orang tua, bahkan teman — terkadang tidak cukup jeli menangkap tanda-tanda itu.
Budaya “Diam Aja” yang Merusak
Di banyak sekolah, masih ada budaya diam. Anak-anak yang mengalami perundungan diminta “sabar”, atau malah dituduh “lebay”. Pelaku kadang hanya dihukum berdiri di depan kelas, atau disuruh minta maaf sambil tertawa. Akarnya bukan cuma kurangnya perhatian guru atau orang tua, tapi juga budaya kita sendiri yang sering menormalisasi kekerasan kecil.
Kita terlalu sering mengajarkan anak untuk kuat, tapi tidak pernah mengajarkan mereka untuk berempati. Kita bangga ketika anak bisa “balas dendam” atau “nggak cengeng”, tapi lupa mengajarkan bahwa menjadi baik hati itu juga bentuk kekuatan.
Ketika Anak Tak Lagi Punya Tempat Aman
Sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak. Tapi kasus seperti ini menunjukkan sebaliknya. Jika seorang anak tidak bisa merasa aman di rumah maupun di sekolah, ke mana lagi dia bisa pergi?
Z bukan kasus pertama. Dan — jika kita tidak segera berubah — dia juga bukan yang terakhir.
Apa yang bisa kita lalukan? Pertama, berhentilah menganggap perundungan sebagai hal biasa. Ini bukan fase tumbuh kembang yang bisa dilewati begitu saja. Ini luka. Dan luka bisa membusuk, bisa meninggalkan trauma seumur hidup.
Kedua, jadikan empati sebagai kurikulum tidak tertulis. Di rumah, ajarkan anak untuk memahami perasaan orang lain. Di sekolah, latih guru dan tenaga pendidik untuk peka dan responsif terhadap gejala perundungan.
Ketiga, beri ruang aman untuk anak berbicara. Dengarkan mereka. Jangan langsung menyalahkan atau mengabaikan cerita mereka hanya karena "kelihatannya baik-baik saja".
Jangan Tunggu Ada Nama Lagi
Hari ini, kita mengucapkan duka untuk Z. Besok, bisa jadi ada lagi — dari sekolah lain, dari kota lain, dari keluarga yang lain.
Jangan tunggu ada nama baru yang viral di media sosial sebelum kita mulai peduli. Jangan tunggu ada tangisan di rumah sakit sebelum kita bicara soal empati, pengawasan, dan tindakan nyata.
Anak-anak berhak tumbuh dalam tawa, bukan trauma. Sekolah harus kembali menjadi taman bermain yang aman, bukan arena pertarungan yang kejam. Dan kita, orang dewasa di sekeliling mereka, harus berhenti menutup mata.
Karena setiap anak yang kita abaikan hari ini, bisa jadi berita duka esok hari.
Comments
Post a Comment