![]() |
| Ilustrasi kado. Foto oleh Pexels. |
Ada perjalanan yang tak diukur dengan jarak, melainkan dengan kehangatan yang ditujunya. Kemarin, adalah salah satu perjalanan itu. Bersama Mama, aku menyusuri jalan menuju rumah seorang anak laki-laki yang namanya telah terukir sebagai adik dan saudara di hatiku: Kevin. Udara siang di Lampung terasa berbeda, lebih ringan, seolah ikut merayakan hari bahagia yang menanti di depan.
Kevin mengundangku ke acara tasyakuran khitannya. Sebuah pesan WhatsApp sederhana darinya bulan lalu, yang ia sampaikan atas nama Ayah dan Ibunya, terasa begitu tulus. Tentu saja aku datang. Bagaimana mungkin aku melewatkan hari penting bagi seorang anak yang pertemuanku dengannya adalah salah satu ketidaksengajaan terindah?
Saat tiba, suasana riuh rendah tawa dan alunan doa menyambut kami. Di sana, di tengah keramaian, aku melihatnya. Kevin, sang "raja sehari", tampak begitu gagah dalam balutan busana putihnya. Senyumnya yang khas, yang pertama kali aku lihat di sebuah mushola sederhana, kini bersinar lebih terang di hari spesialnya.
Pandanganku sejenak mundur ke 8 Januari lalu. Awal tahun, di tengah pekan kerja lapangan yang padat. Mushola Al Ikhsan di dusunnya menjadi oase di tengah terik, tempatku berteduh, sholat, dan menyantap bekal. Di sanalah aku pertama kali melihatnya. Anak sekecil itu, dengan peci hitam berlambang salah satu ormas Islam terbesar Indonesia bertengger di kepalanya, begitu rajin dan ringan langkahnya menuju rumah Allah. Ada kekaguman yang senyap di dalam hati. Di zaman ini, menemukan anak seusianya yang begitu lekat dengan masjid adalah sebuah pemandangan langka yang menyejukkan.
Sejak hari itu, mushola itu bukan lagi sekadar tempat singgah. Ia menjadi titik temu kami. Setiap dhuhur dan asar, aku sengaja melipir ke sana, dan Kevin selalu ada. Obrolan canggung pertama kali akhirnya mencair menjadi tawa dan cerita. Sebuah benang tak kasat mata mulai terjalin, menghubungkan aku, dia, bahkan hingga aku mengenal orang tuanya.
Kembali ke hari tasyakuran. Aku menghampirinya, menyalaminya. Ibu di sampingku tersenyum, akhirnya bertemu langsung dengan "adik baru". Kami tak bisa mengobrol. Aku sangat paham, sebagai tuan rumah, Ayah dan Ibu Kevin tentu sibuk luar biasa memastikan setiap tamu merasa nyaman. Namun, tatapan mata dan senyum hangat mereka saat kami bersalaman sudah cukup menjadi penyambung rasa. Semoga di lain waktu, ada kesempatan untuk duduk bersama, merangkai cerita lebih panjang.
Perjalanan pulang terasa penuh. Hati ini sarat dengan doa dan harapan untuknya. Tak banyak kata yang bisa kuucapkan di tengah keramaian tadi. Maka, biarlah untaian kata ini yang menjadi hadiah, sebuah kado puitis untuk adikku, Kevin Ridho Alvian.
Januari yang Menyimpan Namamu
Di sudut mushola, pada terik Januari,
Kulihat langkah kecil yang tak pernah ragu,
Menuju sajadah lusuh yang menjadi saksi,
Awal mula takdir kita bertemu.
Bukan karena darah, kita menjadi saudara,
Namun karena takjub pada iman di dada mudamu,
Yang kau jaga laksana permata,
Di antara riuh teman sebayamu.
Kini, satu gerbang telah kau lewati,
Tanda dewasamu mulai bersemi.
Jangan pernah lelah menata hati,
Agar kelak menjadi insan berbudi.
Jadikan dunia ini halaman bermainmu,
Tempat kau belajar, jatuh, dan berdiri lagi.
Tapi, genggam erat selalu iman di dadamu,
Sebagai kompas di setiap jejak kaki.
Terbanglah tinggi, adinda, lampaui cakrawala,
Tebarkan cahaya di mana pun kau berada.
Aku, saudaramu dari persimpangan tak sengaja,
Akan selalu menyimpan namamu dalam setiap bait doa.
Lampung, 5 Agustus 2025
* Untuk kerisauan hati yang belum plong, jika belum dituliskan.
Mungkin kamu juga harus baca ini;

Comments
Post a Comment