![]() |
| Dokpri |
Di hari kedelapan bulan Muharram 1447 Hijriah, suasana Masjid Suhada Celikah Kelurahan Seputih Jaya, Kecamatan Gunung Sugih, Kabupaten Lampung Tengah terasa berbeda. Bukan hanya karena semangat jamaah yang baru kembali dari masa libur panjang Idul Adha, tetapi karena khutbah Jumat yang disampaikan Khotib tadi menyusup lembut ke dalam hati.
Khotib yang aku tidak kenal namanya - berhasil mengambil fokusku, tutur katanya menyentuh jiwa, mengajak semua untuk berhenti sejenak, merenung. Satu kalimatnya yang tertinggal kuat dalam benak adalah: "Tahun baru bertambah satu, tapi usia kita berkurang satu." Pernyataan sederhana namun menghentak. Ia tidak sekadar mengajak merayakan tahun baru Islam, tapi menyuguhkan cermin besar agar kita semua melihat wajah kehidupan dengan lebih jujur.
Dalam khutbahnya, sang Khotib menyebut bahwa usia manusia itu terbagi menjadi dua: biologis dan kronologis. Biologis merujuk pada usia fisik kita - angka yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP), jumlah tahun yang kita jalani di dunia ini. Sedangkan usia kronologis bukan sekadar hitungan waktu, melainkan bagaimana usia itu diisi: makna, kontribusi, amal, serta warisan nilai yang kita tinggalkan.
Kita mungkin mengenal seseorang yang secara biologis sudah berusia lanjut, tapi hidupnya tak banyak memberi dampak. Sebaliknya, ada pula yang usia biologisnya singkat, tetapi warisannya menjangkau zaman.
Meneladani Usia yang Diberkahi
Contoh paling terang dari khutbah itu datang dari ulama besar sepanjang sejarah Islam: Imam Syafi'i, Imam al-Ghazali, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya tak hidup berusia panjang secara biologis, tetapi usia mereka penuh berkah - berlimpah maslahat.
Baca juga:
Imam Syafi'i wafat pada usia 54 tahun, tapi selama hidupnya beliau menulis lebih dari 100 kitab. Salah satu karya terkenalnya, Ar-Risalah, menjadi tonggak utama dalam ilmu ushul fiqh, yakni metodologi dalam memahami hukum Islam dari Al-Qur'an dan Hadis.
Imam Al-Ghazali, wafat pada usia 55 tahun, dikenal dengan mahakaryanya Ihya Ulumuddin, kitab tebal yang meramu ilmu fikih, akhlak, dan tasawuf menjadi satu kesatuan. Buku ini menjadi bacaan wajib dan inspirasi lintas mazhab hingga hari ini.
Sedangkan, Imam Ahmad bin Hanbal, wafat pada usia 77 tahun, meninggalkan karya besar "Musnad Ahmad" yang berisi lebih dari 30 ribu hadis. Usianya memang sedikit lebih panjang, tetapi dedikasi dan perjuangannya mempertahankan kemurnian aqidah menjadikan setiap tahun hidupnya bernilai tinggi.
Apa yang bisa kita pelajari? Bahwa usia bukan semata soal panjang atau pendek, tapi soal kebermaknaan.
Menyambut Muharram dengan Jiwa yang Terbarukan
Setiap kali tahun baru Hijriah datang, kita dihadapkan pada pilihan: ingin menjadi pribadi seperti apa tahun ini? Apakah hanya menambah usia tanpa menambah manfaat? Atau justru menjadikan setiap tahun sebagai peluang memperbaiki diri?
Baca juga:
- Yang Harus Diperhatikan oleh Donatur Jumat Berkah
- Sekolah Bukan Medan Perang, Tapi Kenapa Selalu Ada Korban?
Refleksi ini sangat relevan di zaman kita sekarang. Hidup dengan media sosial yang penuh distraksi, mudah membuat kita terlena membandingkan hidup dengan orang lain. Kita sibuk menambah pengikut, tapi lupa menambah amal. Sibuk mempercantik tampilan, namun lupa memperkaya isi.
Padahal, sebagaimana sabda Nabi, Khoirunnas anfauhum linnas - "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain." (HR. Ahmad). Maka, tahun baru bukan sekadar ganti kalender, melainkan momen untuk mengisi ulang energi hidup agar lebih bermakna, bukan sekadar berjalan di tempat.
Menghitung Usia dengan Amal, Bukan Angka
Bagaimana bila kita mulai tahun ini dengan mengubah cara kita menghitung usia? Bukan hanya berapa tahun yang sudah kita lalui, tapi berapa amal yang sudah kita tanam? Bukan hanya ulang tahun yang dirayakan, tapi juga ulang amal yang dipertahankan.
Coba kita tulis: tahun lalu, berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk hal berguna? Berapa banyak senyum yang kita bagi, tangan yang kita tolong, atau ilmu yang kita bagi? Jika jawabannya belum banyak, maka inilah waktunya memperbaiki.
Baca juga:
- Mengelola Dompet di Jalanan: Tips Hemat Ala Pekerja Lapangan
- Dari Semangkuk Mie Ayam, Hidup Dimulai Kembali
Tidak perlu langsung menjadi ulama besar atau penulis kitab. Menjadi pribadi yang lebih baik bagi keluarga, lebih jujur di tempat kerja, lebih sabar di jalan raya, juga bagian dari amal yang memberkahi usia.
Ketika nanti usia biologis kita berhenti, akankah usia kronologis kita terus hidup dalam kebaikan? Ataukah semuanya menguap begitu saja, seolah kita tak pernah ada?
Mari kita isi tahun baru Hijriah ini dengan semangat memperpanjang usia dalam arti keberkahan. Bukan karena ingin dikenang, tapi karena ingin bertanggung jawab. Bukan demi popularitas, tapi demi nilai-nilai abadi yang bisa kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Karena sejatinya, usia itu bukan tentang seberapa lama kita hidup, tapi seberapa bernilai hidup kita bagi sesama.
Jum'at, 8 Muharram 1447 Hijriyah
Baca juga:

Comments
Post a Comment