Skip to main content

Anak Angkat, Teman, dan Rahasia | Cerbung [PTS]

 

Ilustrasi oleh AI.

Oleh: Cendekia Alazzam


"Yeayyyy, akhirnya sampai di bab 4 ya! Selamat ya dan terima kasih karena telah setia menanti update cerbung dari kami. Untuk yang ketinggalan cerita atau bab sebelumnya, silakan baca di sini ya!!!"


Sejak malam itu, saat Suwantra melontarkan candaan tentang mengangkat Faiz sebagai anak, sesuatu dalam rumah mereka berubah. Tak lagi sekadar tamu, Faiz mulai menjadi bagian dari keluarga. Ia resmi tinggal di kamar belakang yang sebelumnya hanya digunakan untuk menyimpan barang-barang lama. Tinara membersihkannya sendiri, menata ulang seolah menyambut anak kandung yang pulang setelah lama pergi.


"Kamu nggak keberatan kan, Faiz? Kalau tinggal di sini? Bapak juga setuju," ujar Tinara lembut, sambil menyerahkan seprei bersih dan handuk baru.


Faiz menunduk, tersenyum pelan. "Saya justru terima kasih, Bu. Rasanya... seperti punya rumah lagi."


Hari-hari berikutnya, kehadiran Faiz memberi nuansa baru. Suwantra terlihat lebih ceria. Setiap pulang kerja, ada wajah ramah yang menyambutnya selain istri dan anak-anak. Obrolan mereka panjang - tentang kerjaan, berita, politik, bahkan tentang perempuan. Sesekali, mereka duduk di belakang rumah, memancing ikan di kolam kecil sambil menyeruput kopi panas buatan Tinara.


"Kamu tahu nggak, Faiz? Nikah itu aneh kadang. Ada, tapi nggak terasa. Hidup bareng, tapi seperti sekamar dengan bayangan," ujar Suwantra suatu malam, tatapannya kosong.


Faiz diam, tak ingin salah menanggapi.


"Maksud Bapak?" tanyanya hati-hati.


"Ah, kamu masih muda. Nanti juga paham sendiri... Tapi serius, aku tuh kadang bingung, kenapa aku sama Tin kayak... dua orang asing di rumah ini. Aku udah lama banget nggak... ya, you know lah."


Faiz tersenyum kaku. Ia paham maksudnya. Tapi tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia hanya mendengarkan, seperti biasa. Dan bagi Suwantra, itu sudah lebih dari cukup.


Tak hanya sebagai teman curhat, Faiz juga mulai menjadi teman dalam arti yang paling literal. Mereka tidur bareng di ruang tengah saat nonton bola, bahkan mandi bareng di kamar mandi belakang saat air ledeng mati dan harus menimba air dari sumur. Faiz, meski canggung, mengikuti saja. Mungkin karena rasa hormat. Mungkin juga karena ia tak ingin mengecewakan orang yang sudah ia anggap ayah.


Tinara memperhatikan semua itu dalam diam. Bagaimana suaminya tampak lebih terbuka, lebih ringan hidupnya, ketika bersama Faiz. Ada cemburu yang samar. Bukan karena ia ingin menggantikan posisi Faiz. Tapi karena ia juga ingin merasakan hal yang sama - diperhatikan, diajak bicara, disentuh meski hanya lewat cerita.


Suatu sore, saat anak-anak bermain di halaman, Tinara membuatkan teh manis dan membawanya ke ruang tamu, tempat Faiz duduk membaca buku.


"Capek ya ngajar anak-anak zaman sekarang?" tanyanya sambil duduk di ujung sofa.


Faiz tersenyum. "Kadang. Tapi lebih banyak senangnya, Bu. Apalagi kalau lihat mereka paham dan semangat. Termasuk Akmal."


Tinara menatap wajah Faiz beberapa detik lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu di mata pemuda itu - tulus, tapi juga kosong. Seperti menyimpan sesuatu yang tak pernah ia bagi pada siapa pun.


"Kalau capek, istirahat ya. Jangan sungkan sama aku. Rumah ini rumahmu juga."


Faiz mengangguk. "Terima kasih, Ibu."


Malam-malam berikutnya, suasana rumah berubah. Bukan dengan gegap gempita, tapi lewat percakapan-percakapan pelan, tawa-tawa yang tulus, dan kehadiran Faiz yang mengisi ruang kosong dengan kehangatan yang sederhana. Tak pernah lebih. Tak pernah kurang.


Tapi perubahan kecil itu cukup terasa bagi Tinara. Ia mulai terbiasa melihat Faiz setiap pagi di dapur, membantu menyuapi si bungsu, atau menyapu halaman tanpa diminta. Kadang, mereka duduk di teras berdua saat Suwantra lembur, hanya membicarakan hal-hal ringan: cuaca, harga sayur, hingga acara TV.


Ia tahu Faiz bukan siapa-siapa. Tapi entah mengapa, ia seperti tempat pulang. Pelan-pelan, Faiz menjadi lebih dari sekadar anak angkat. Ia menjadi teman. Seseorang yang hadir tanpa pretensi, tanpa beban masa lalu. Dan itulah yang membuatnya berbahaya.


Karena saat seseorang hadir tanpa pamrih, kita bisa jatuh hati tanpa sadar. Atau paling tidak, kita ingin merasa hidup lagi.


Dan malam itu, ketika hujan mengguyur pelan atap rumah mereka, Tinara memandangi jendela dari balik dapur. Suwantra belum pulang. Anak-anak sudah tertidur. Hanya ada Faiz yang duduk membaca di ruang tengah.


Ia berpikir, barangkali rumah ini tak sepi lagi. Tapi entah kenapa, sunyi yang baru ini terasa lebih hangat.


Meski samar, ia tahu... badai yang lebih besar sedang bersiap mengetuk pintu.


[Bersambung...]


Baca juga: Cinta Pengabdian dan Jejak yang Abadi [Cerbung]

Comments

Popular posts from this blog

Untuk Pejuang Finansial dan Penuntut Ilmu

  Foto oleh Mujahit Dakwah Ada ungkapan menarik dari Imam Syu'bah, "من طلب الحديث أفلس" "Barangsiapa menuntut ilmu hadits, maka ia akan jatuh bangkrut." Sungguh, apa yang beliau sampaikan tidaklah berlebihan. Bagi orang yang belum menyelami bagaimana pengorbanan para ulama dahulu dalam belajar dan menuntut ilmu, ungkapan ini pasti terdengar asing dan mengherankan. Bagaimana tidak, jikalau Imam Malik sampai rela menjual atap rumahnya untuk keperluan menuntut ilmu. Imam Syu'bah menjual bak mandi ibunya. Imam Abu Hatim menjual pakaiannya satu per satu sehingga yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badannya. Dan, Imam Ahmad sampai rela safar tanpa alas kaki karena menggadaikan sandalnya sebagai bekal perjuangan menuntut ilmu. Ketahuilah, mereka mengorbankan benda-benda itu karena hanya itulah yang mereka miliki. [ Diceritakan dengan sanadnya oleh syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab masyhur beliau, (صفحات من صبر العلماء) ] Imam Yahya bin Ma'in pe...

Melihat Lebih Dekat, Masjid Mewah di RS Harapan Bunda Lampung

Tampak dalam ruangan masjid RS Harapan Bunda. Dokpri/Pecandu Sastra.   Salah satu sarana penunjang aktivitas ibadah  kaum muslim adalah tersedianya tempat ibadah yang nyaman, aman, bersih, dan terbebas dari najis. Meski setiap hamparan bumi adalah masjid - tempat bersujud kepada Allah (kecuali kuburan dan kamar mandi atau toilet). Sujud dapat dilakukan di mana saja, di setiap jengkal bumi yang kita pijak, selama tempat tersebut suci dan bersih. 

Anak itu Arfan Namanya!

  Menjelang maghrib ia sudah berada di masjid Berpakaian lengkap dengan peci hitam di kepalanya Senyumnya merekah, manis dipandang  Arfan, itulah namanya saat kutanya Sekolah di taman kanak-kanak Usianya lima tahun Wajahnya periang, kalau ngomong lancar dan jelas Baca: Kisah Burung Pipit yang Bertasbih Setiap Hari, Lalu Terdiam Waktu kutanya ia, mengapa rajin pergi ke masjid Arfan bilang, supaya Allah sayang Agar apa yang kita minta sama Allah, lekas diberikan "Begitu kata Bunda," ujar Arfan Allah yang sudah memberikan kedua tangan, mata, telinga, dan anggota badan semua Allah juga yang sudah kasih Ayah dan Bunda rezeki Jadi, kita harus rajin ibadah Demikian tutur anak kecil itu Bogor, 2023 Baca: Di Penghujung Mei  

Ipar adalah Maut: Badai Rumah Tangga Tanpa Adanya Sebuah Tanda!

Poster Film Ipar adalah Maut yang dipajang di beranda XXI. Dokpri/Pecandu Sastra-2024. Ipar adalah Maut merupakan film yang diangkat dari kisah nyata, berawal dari cerita viral yang diunggah oleh Eliza Sifaa melalui akun TikTok miliknya di tahun 2023. Kisah ini merupakan cerita dari salah satu pengikutnya di platform digital tersebut. Berkisah tentang seorang mahasiswi yang dipinang oleh Dosen muda, di mana pernikahan mereka semakin sempurna berkat hadirnya sang buah hati. Namun sayang, kebahagiaan yang menghampiri mereka hanyalah sementara, sebab hadirnya seorang wanita yang tak lain ialah adik ipar dari sang suami.

Pelukan yang Tak Selesai [Cerbung]

Ilustrasi oleh AI Halo sahabat pembaca, terima kasih ya telah setia mampir dan membaca setiap karya kami. Salam hangat dari aku Cendekia Alazzam dan beberapa nama pena yang pernah aku kenakan 😁🙏.