![]() |
Jutaan jemaah berkumpul di sekitar Ka'bah. Tak semua bisa hadir, tapi niat tulus bisa menghantarkan pahala haji mabrur. (Sumber: Pexels) |
"Tolok ukur seorang haji yang mabrur adalah ketika seorang tersebut menjadi pribadi yang lebih baik, berperikemanusiaan, tidak riya, dan sombong setelah berhaji."
- Habib Husein Ja'far al-Hadar
Setiap musim haji, jutaan umat Islam dari seluruh dunia berlomba-lomba menjadi tamu Allah di Baitullah. Namun, bagaimana jika seseorang sudah niat, sudah usaha, tapi gagal berangkat haji karena satu dan lain hal di luar kendali? Ap²akah itu berarti kehilangan segalanya?
Habib Husein Ja'far melalui unggahan Instagramnya memberi pencerahan yang menyejukkan. Ia mengatakan, dalam Islam, niat adalah kunci. Bahkan, niat memiliki kedudukan lebih utama dari amal itu sendiri. Sebab, amal tanpa niat yang benar bisa jadi tidak sah, tidak diterima, bahkan berujung pada dosa.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki niat tulus dan bersungguh-sungguh, tetapi gagal menunaikan amal karena faktor di luar kuasanya, tetap mendapatkan pahala penuh seolah-olah ia telah menunaikan ibadah itu. Bahkan, Allah memberikan keutamaan tambahan karena sabarnya dalam menerima kenyataan pahit tersebut.
Habib Husein menyampaikan, kepada mereka yang sudah niat dan usaha tapi gagal ke Tanah Suci, insya Allah Baitullah akan hadir di dalam hati. Mereka telah mendapatkan pahala haji, meski tanpa menyandang gelar "haji". "Toh, gelar itu kadang justru menjadi ujian bagi hati: apakah kita menjadi lebih rendah hati, atau malah tinggi hati?" Tulis Habib Husein.
Kisah Tukang Sol Sepatu yang Jadi "Kekasih Allah"
Dalam salah satu podcast Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Habib Husein mengisahkan cerita menggetarkan hati tentang seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Muwaffaq. Kisah ini disampaikan untuk menunjukkan bahwa hakikat haji adalah niat dan keikhlasan, bukan semata perjalanan fisik ke Mekkah.
Baca juga: Hikmah Pagi Dalam Kesunyian Idul Adha
Ali bin Muwaffaq adalah seorang tabi'ut tabi'in yang setiap tahunnya menabung dari penghasilan kecilnya demi bisa berhaji. Pada suatu musim haji, tabungannya akhirnya cukup. Namun takdir berkata lain. Saat hendak berangkat, istrinya yang tengah hamil mencium aroma masakan dan mengidam. Aroma itu berasal dari rumah seorang janda miskin dengan enam anak yatim.
Saat Ali mendatangi rumah itu untuk meminta sedikit makanan demi sang istri, si janda menangis. Ia menjelaskan bahwa ia memasak daging bangkai keledai karena sudah beberapa hari tak makan - daging itu halal untuknya karena kondisi darurat, tapi haram untuk orang lain. Mendengar hal itu, Ali langsung menangis, pulang ke rumah, dan menceritakan semuanya pada istrinya. Mereka akhirnya memberikan seluruh tabungan hajinya, 350 dirham, dan juga makanan kepada si janda dan anak-anaknya.
Yang mengejutkan, seorang ulama besar Mekkah, Abdullah bin Mubarak, yang sedang berhaji kala itu, bermimpi melihat dua malaikat bercakap. Mereka berkata bahwa dari 600.000 orang yang berhaji saat itu, tak satu pun ibadahnya diterima Allah - kecuali ibadah seorang tukang sol sepatu yang bahkan tidak jadi berhaji. Karena keikhlasannya, seluruh dosa-dosanya diampuni dan hajinya diterima. Bahkan, berkat dialah Allah menerima haji seluruh jamaah tahun itu.
Niat Tulus Lebih Tinggi dari Gelar
Dari kisah tersebut, Habib Husein mengingatkan bahwa Allah tidak menilai kita dari gelar yang kita kenakan, tetapi dari keikhlasan hati dan amal kita terhadap sesama. Bisa jadi, seseorang yang batal berangkat haji karena memilih menolong sesama justru mendapat kemuliaan lebih tinggi di sisi Allah.
Baca juga: "Dua Sarung: Cinta Dalam Diam"
Maka untuk para calon jemaah yang tahun ini gagal berangkat, terutama dari jalur Furoda, jangan berkecil hati. Jika niat sudah benar, usaha sudah maksimal, dan kalian menerima dengan ikhlas serta bersabar, maka pahala haji tetap mengalir. Bahkan, kalian bisa jadi lebih mabrur dari mereka yang telah menunaikannya secara fisik, tetapi tak membawa perubahan dalam akhlaknya.
Seperti Habib Husein pernah mengatakan, "Jadi, walaupun kita tidak menjadi haji, dan na'udzubillah ya, misalnya kita wafat sebelum berhaji, selama kita sudah niat dengan tulus, maka insyaAllah kita mabrur."
* Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, dengan judul sama.
Comments
Post a Comment