Sebuah Puisi dari Disisi Saidi Fatah
![]() |
| Sorban biru langit dari guru tercinta, saksi subuh yang khusyuk. Dipakai dalam doa, diniatkan agar pahala mengalir pada pemberinya. (Dokpri/Disisi) |
Usai subuh yang bening,
langit masih menyimpan sisa doa malaikat,
aku dipanggil dengan langkah gemetar,
oleh Umi, perempuan mulia
yang teduhnya adalah pantulan cinta Abah.
“Ini dari Abah,” tuturnya lirih.
Dan jantungku pun belajar berdegup
seperti santri yang pertama kali
menerima restu gurunya.
Abah —
engkau yang kupanggil guru,
kupeluk sebagai orang tua,
dan kuletakkan di relung paling hormat
dalam sujud-sujud panjangku.
Engkau tak lelah menapak jalan dakwah,
hujan bagimu hanya sajadah langit,
lelah tak pernah kau sebut ujian,
kurang tidur hanyalah cara Allah
mengajarkan ikhlas yang lebih dalam.
Aku belajar istiqamah
dari langkah kakimu yang tak pernah surut,
aku belajar takdzim
dari caramu tunduk pada guru —
sami’na wa atha’na,
kalimat yang hidup dalam laku,
bukan sekadar di bibir.
Dan pagi itu,
sehelai sorban biru langit
kau titipkan padaku —
sewarna harap,
sewarna doa,
sewarna tenang yang sering kucari
dalam munajat paling sunyi.
Tahukah Abah?
Saat sorban itu menyentuh kepalaku,
hatiku mekar seperti taman
yang disirami restu.
Aku tak hanya memakainya,
aku menggendong amanah di dalamnya.
Setiap sholatku,
sorban itu kupeluk dengan niat,
agar tiap sujudku
menjadi aliran pahala
yang kembali padamu.
Agar setiap takbirku
menjadi saksi cinta murid
kepada guru yang ikhlas.
Jika kelak aku lemah,
ingatkan aku pada biru langit itu —
bahwa ada guru
yang mengajariku mencinta Allah
dengan kesetiaan dan adab.
Dan jika doaku sampai ke Arsy,
biarlah namamu ikut terucap di sana,
sebagai cahaya
yang pernah menghangatkan hatiku
di pagi subuh yang tak akan pernah kulupa.
Gunung Putri, Bogor, 181225

Comments
Post a Comment