![]() |
Ilustrasi berdoa (Sumber: nusantaranews/istimewa) |
"Nak, pulang ya," demikian ucap Mama kepadaku beberapa hari lalu. -"Kita nikmati sahur dan jalani ramadan bersama-sama," pintanya.
Ada rasa haru usai Mama meneleponku malam itu, percakapan singkat itu melepas derai air mata yang tak terasa merembes hingga pipi. Azzam sangat senang sebab akan punya banyak waktu menikmati nuansa ramadan bersama keluarga di rumah. Namun, di satu sisi ia merasa sedih, karena kepulangannya kali ini membawa duka lara, sebab sudah empat bulan ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari tempat ia bekerja dan hingga kini belum menemukan pekerjaan lain. Bukan ia tidak berusaha, hampir semua lowongan kerja yang ia peroleh telah ia sodorkan berkas pendaftaran, namun semua nihil, hingga kini belum ada satu pun perusahaan yang memanggilnya.
Usai sholat jum'at, Azzam memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Sejak dua hari lalu ia sudah mengemas semua pakaian dan perabotan miliknya. Ada yang ia hibahkan ke tetangga kostan dan kerabat, ada pula yang ia ubah menjadi uang untuk menambah bekal pulang. Keinginannya untuk merajut impian di negeri orang harus ia kubur dalam-dalam, ia juga nggak bisa terus-menerus bertahan tanpa adanya pemasukan, yang ada semua tabungan akan habis terkuras. Mungkin bukan sekarang waktu yang tepat, atau mungkin bukan di sana tempat yang Allah pilih sebagai jalan menuju kesuksesan.
"Selamat tinggal kota impian yang sempat aku gantungkan cita-cita dan harapan di pundak, kalau memang berjodoh kita akan kembali dipertemukan, meski tak tahu kapan. Namun, jika tidak, aku harap kau abadi sebagai kenangan persinggahan," gumam Azzam melepas jejak setapak demi setapak meninggalkan Kota Hujan.
Selama perjalanan menuju kampung halaman ia rahasiakan kepulangannya dari semua orang, meski lima hari lalu Mama sempat bercengkrama dengannya. Azzam berharap bisa kasih kejutan untuk keluarga di rumah.
Perjalanan ia tempuh dengan jalur darat, dari menumpangi bus hingga kapal laut ia jalani. Malam yang sunyi disertai awan hitam menyelimuti penjuru nabastala, serta nuansa dingin khas laut memberi ketenangan. Di bawah temaram sinar rembulan yang malu-malu untuk menyembulkan sinarnya, Azzam khusyuk memanjatkan doa-doa. Deru ombak turut mengamini permohonan anak yang tengah melakukan safar itu.
Bertepatan dengan sepuluh ramadan, setelah mengarungi samudra dan melintasi pulau kurang lebih dua belas jam perjalanan, akhirnya Azzam tiba di kampung halaman. Keluarga sempat dibuat kaget karena tiba-tiba mendapat telepon darinya bahwa ia sudah tiba di pemberhentian bus - minta dijemput. Untungnya malam itu orang rumah tidak terlelap dalam dekapan mimpi, jika tidak jadilah ia penunggu halte hingga waktu sahur tiba.
- - - * * * - - -
Baca juga: Ketika Sang Imam Keluarga Pergi
"Nak, bangun, mari sahur," ujar Mama membangunkan Azzam.
Azzam terbangun usai terlelap beberapa jam - merebahkan tubuh yang lelah usai dijajah habis oleh perjalanan. Punggungnya merah penuh lukisan bekas kerokan, angin malam khas laut dan pendingin mobil membuat pertahanannya terkoyak. Ia menyantap sahur dengan tidak semangat.
"Ma, maaf ya aku nggak bawa buah tangan," ucap Azzam menunduk. Ia malu pulang dengan tangan kosong, meski uang tabungannya masih tersisa ia harus berhemat sampai mendapatkan pekerjaan baru.
"Nggak apa-apa nak, Mama mengerti kondisimu, yang terpenting kita bisa kumpul saat ramadan dalam keadaan sehat. Kita jalani ibadah ramadan dengan sungguh-sungguh, insha Allah ada jalan nantinya," demikian Mama menenangkan.
Belaian lembut sentuhan tangannya membuat air mata Azzam meleleh, ada tangis yang tak mampu ia sembunyikan, namun tak berani pula ia lepaskan sebab malu dan takut jika dinilai cengeng.
Mama memang paling terbaik dalam hal menenangkan hati, ia tak pernah kekurangan cara untuk menyenangkan anak-anaknya, meski ada luka yang ia sembunyikan. Azzam senang akhirnya ia bisa menikmati momen ramadan bersama keluarga di kampung halaman, santap sahurnya kini tidak hanya sendirian yang disaksikan dinding-dinding bisu serta lemari tua yang lapuk selayaknya di kamar kost dulu.
Baca juga: Produktif Sejak Dini, Semangat Juang Kevin Membuat Cemburu!
Kini dirinya tidak hanya dapat melihat langsung sosok penyemangat dalam hidupnya, wanita tangguh yang kini telah berubah status menjadi kepala keluarga. Namun, ia juga dapat merasakan sentuhan ajaib tangan Mama setiap harinya lewat olahan makanan yang disajikan. Kerinduan aroma masakan yang khas sentuhan Mama kini dapat ia rasakan setiap harinya. Kesempatan yang luar biasa ini tidak disia-siakan olehnya, semenjak di kampung halaman Azzam tidak hanya berdiam diri, ia pun turut membantu apa saja yang dilakukan Mama.
Bagi Azzam ramadan bukan waktu untuk bersantai maupun berleha-leha. Bulan penuh berkah ini harus diisi dengan banyak melakukan hal-hal positif. Kebaikan-kebaikan harus terus dipupuk, agar nanti bisa memanen berkali lipat berkah dari-Nya.
"Ma, maafin Azzam ya, Azzam banyak salah sama mama. Suka membantah dan terkadang acuh. Maafkan perlakuan serta sikap Azzam yang tidak baik selama ini Ma," ucap Azzam di suatu malam.
Sembari menangis sesenggukan, menjelang santap sahur Azzam memeluk Mamanya seraya meminta maaf dan memohon ridha kepadanya. Dalam balutan sarung dan baju koko ia mengaku salah karena selama ini banyak perbuatan kurang baik yang dilakukan secara sadar atau tidak. Malam itu Azzam ingin melepas rasa bersalah yang terus membayangi dirinya, ia ingin lebih tenang dalam menjalani ritual ibadah di bulan suci. Keduanya saling rangkul dan larut dalam tangisan.
Pada kesempatan itu pula Azzam minta satu permohonan agar selama ramadan dalam sujud dan doa-doa yang Mama panjatkan tak luput menyisipkan namanya. Bagi Azzam tak ada yang paling 'keramat' selain doa yang dipanjatkan oleh orang tua untuk anak-anaknya.
Baca juga: Aku 'Zero Waste' Aku Tamak?
"Azzam mohon jangan lupakan nama Azzam dalam setiap sujud dan doa-doa Mama ya," demikian pinta Azzam, meski ia tahu orang tua mana yang tidak mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya, bahkan tanpa mereka memintanya sekalipun.
Azzam bersyukur karena ia telah berani mengutarakan maaf kepada Mama secara langsung, selama ini ia hanya berani berkata melalui sambungan telepon, dan itu pun amat jarang dilakukan. Setiap hari hampir banyak kesalahan yang dilakukan, bahkan dalam keadaan sadar sekalipun.
Ia merasa, mungkin kegagalan-kegagalannya selama ini disebabkan banyaknya salah yang ia lakukan, terlebih perlakuan dan sikapnya terhadap sosok yang telah mengandung, melahirkan, merawat, hingga mendidiknya dengan penuh ketulusan dan cinta. Azzam yakin jika Mama sudah ridha, maka Allah pun demikian akan meridhoinya. Maka, ketika satu pintu tertutup, akan ada pintu-pintu lain yang dibukakan untuknya.
“Terkadang dunia akan terasa sempit untuk menjadi tempat tinggal, berbagai masalah sering kali membuat kita kelelahan. Namun, di balik itu, ada orangtua sebagai rumah kita. Mereka yang selalu memberikan semangat dan pelukan yang erat." - Hamba Allah -
Comments
Post a Comment