![]() |
Ilustrasi oleh AI |
Oleh: Cendekia Alazzam
"Selamat datang di bab 10. Wah nggak berasa ya sudah di setengah perjalanan terakhir dari Cerbung "Pelukan yang Tak Selesai". Sampai di sini, bagaimana kisah Faiz, Tinara, dan Suwantra? Ohya, jika kamu ketinggalan bab sebelumnya, boleh ya baca di sini!!!"
Pagi itu datang dengan cahaya yang redup, seperti segan menyingkap apa yang telah terjadi malam sebelumnya. Rumah masih tenang. Anak-anak belum bangun, dan suara hujan kemarin menyisakan embun di kaca jendela. Tinara duduk di ujung tempat tidur, mengenakan daster tipis yang lengket oleh kelembapan. Di belakangnya, Faiz baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, membawa dua cangkir teh hangat.
"Ini, untuk Ibu," katanya pelan. Tak lagi kikuk memanggil Tinara seperti dulu. Suaranya penuh keakraban, tapi juga ada desakan halus dari sesuatu yang telah berubah.
Tinara menerimanya, jemari mereka bersentuhan. Sekilas. Tapi cukup untuk menghidupkan kembali bara yang semalam belum padam.
Sejak kejadian di kamar mandi itu, batas-batas makin mengabur. Awalnya hanya pelukan, lalu ciuman. Kini, tubuh mereka menjadi pelarian dari sepi yang telah lama membatu. Kadang pagi hari ketika rumah masih senyap. Kadang malam hari, di sela anak-anak yang telah tidur. Suwantra makin jarang di rumah. Dan saat ia pulang pun, kehadirannya hanya sebatas suara langkah dan bau parfum kantor.
Faiz memang sudah tinggal bersama mereka. Secara sah, ia menjadi anak angkat Suwantra. Tapi kedekatannya dengan Tinara tidak lagi sebatas ibu dan anak. Ada ruang rahasia yang mereka ciptakan sendiri - ruang sunyi yang hanya diisi oleh dua tubuh yang saling memahami dan merindukan.
"Kamu nggak takut?" tanya Tinara suatu malam, setelah napas mereka mereda dalam pelukan yang panas dan sunyi.
Faiz menggeleng, mencium pelipisnya. "Takut. Tapi lebih takut kalau harus berhenti."
Mereka tak pernah benar-benar merencanakan untuk bercinta. Tapi tiap kali bersentuhan, dunia seolah memberi izin. Ada kebutuhan yang bukan sekadar fisik - melainkan emosional. Setiap gesekan kulit, setiap desah pelan, adalah bahasa luka yang selama ini tak terdengar.
Kadang Faiz akan menatap tubuh Tinara seperti sedang mempelajari seni. Ia tidak tergesa. Jemarinya menyusuri lekuk wanita itu dengan takzim, seolah bersyukur bisa mengobati luka dengan kasih. Tinara, di sisi lain, menemukan kembali bagian dirinya yang pernah hilang - sebagai perempuan yang diinginkan, dihormati, dan disentuh bukan karena kewajiban, tapi karena kerinduan yang tulus.
Malam-malam mereka seperti pelarian tanpa akhir. Seprei menjadi saksi bisu, begitu juga cermin, meja makan, bahkan kamar mandi yang dulunya dingin kini terasa hangat. Tubuh mereka menyatu bukan hanya karena hasrat, tapi juga karena duka. Mereka tertawa di tengah sunyi, menangis dalam bisikan, dan saling mencari dalam gelap.
Tinara mulai takut akan keterikatan yang tumbuh. Tapi Faiz menenangkannya, bukan dengan janji, tapi dengan kehadiran. Ia ada saat Tinara butuh bahu, butuh tangan untuk menyeka air mata, butuh tubuh untuk bersandar.
Sementara itu, Suwantra tetap sibuk. Ia bahkan sempat berkata di telepon, "Minggu depan aku ke Medan. Seminar tiga hari."
Tinara hanya mengangguk. Suwantra tidak lagi bertanya kabar. Tidak tahu bagaimana anak-anak tumbuh. Tidak peduli apakah istrinya kesepian atau tidak. Ia tidak tahu bahwa rumahnya kini punya dua cahaya yang saling berpijar di kegelapan - dan salah satunya bukan dirinya.
Dan malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, suara tempat tidur kembali berderak pelan. Pelan tapi menggema dalam hati. Sunyi yang membakar, bukan karena salah atau benar, tapi karena dua jiwa yang terlalu lama menunggu untuk disapa, disentuh, dan dicinta.
Sebuah sunyi yang tak bisa dimatikan oleh logika, hanya bisa dipadamkan oleh pelukan yang utuh.
[Bersambung...]
Baca juga: Cinta, Pengabdian, dan Jejak yang Abadi [Cerbung]
Comments
Post a Comment